Selasa, Januari 31, 2012

Esensi Ajaran Islam

ESENSI AJARAN ISLAM
TENTANG KESALEHAN INDIVIDU DAN SOSIAL

Oleh A. Naufal Ramzy

I. Pendahuluan

Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi kelangsungan hidup manusia di dunia. Andaikan di alam semesta ini tidak terdapat makhluk yang berjenis manusia, maka agama Islam tidak perlu diwahyukan oleh Allah SWT. Sebab pada esensinya, yang benar-benar membutuhkan kepada agama Islam adalah manusia. Dapat dibayangkan, andaikan seluruh manusia di planet bumi ini tidak ada satu pun yang beragama Islam, maka diduga kuat suatu hukum rimba akan berlaku bagi seluruh manusia, pihak yang kuat akan memaksakan kehendak kepada pihak yang lemah, pihak yang berkuasa akan bertindak imperialistik pada pihak yang dikuasai. Dari sudut pandang ini, betapa pun ada pihak-pihak yang tidak menyukai komunitas masyarakat Islam di bumi, sungguh suasana kondusif dan terjaganya harmonitas sosial dunia juga karena di-support secara serius oleh elite-elite pemimpin Islam internasional.

Dari sekian macam ajaran Islam, salah satu esensinya yang terpenting adalah urgensi kesalehan yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata umat manusia. Kesalehan di sini bukan sekedar konsep teoritis dan paradigmanya, tetapi kesalehan yang diwujudkan secara nyata dalam bentuk tindakan yang bercorak benar dan baik. Lalu siapa yang harus melakukannya ? Tentu oleh setiap individu yang berikrar telah beragama Islam dan secara mukallaf telah bersedia menunaikan seluruh ajaran agama ini.

Dalam perspektif ini, figur individu muslim/muslimah menjadi penting dalam suatu komunitas masyarakat, baik secara homogen atau heterogen. Karena individu dengan individu lainnya yang berdiam di suatu lokasi dan merasa saling membutuhkan satu sama lain, pada gilirannya akan membentuk suatu masyarakat yang permanen. Nah, dalam konteks ini, ajaran agama Islam kemudian menyodorkan suatu ajaran tentang ibadah kepada Allah SWT yang berkategori ibadah mahdhah dan ibadah mu’amalah. Dua kategori ibadah inilah yang mempertemukan urgensi figur individu dengan figur komunitas masyarakat.

II. Urgensi Kemerdekaan Bagi Individu dan Masyarakat

Individu semacam apa yang ideal mampu merintis suatu masyarakat yang Islami ? Jawabannya sederhana, yaitu individu yang menyadari betapa dirinya telah memperoleh tiga nikmat penting dari Allah SWT, yaitu nikmat kehidupan, nikmat kemerdekaan, dan nikmat hidayah iman.

Nikmat yang pertama, nikmat kehidupan sungguh merupakan nikmat yang taken for granted atau ready for use. Kehidupan yang diberikan oleh Allah telah dilengkapi dengan hardware (jasmani) dan software (insting, rohani, hati nurani dan ruh) yang serba terbaik. Durasi detak jantung yang dimiliki mereka yang tetap tak berubah, oleh Allah dikendalikan secara gratis, tanpa memungut biaya sewa dari mereka.

Nikmat kedua, nikmat kemerdekaan juga merupakan nikmat yang serba terbaik, karena Allah melengkapi nikmat ini dengan potensi akal pikir dan akal budi. Dengan potensi ini manusia termotivasi untuk belajar dan belajar, agar menguasai ilmu secara seluas-luasnya, sehingga cara dan metode ibadah mereka kepada Allah benar-benar sesuai dengan ajaran agama Islam, di mana dengan ini pula manusia mampu makhluk-Nya yang derajatnya tertinggi karena mampu memangku predikat khalifah di bumi yang dilaksanakannya sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah.

Namun, kemerdekaan yang dimiliki oleh manusia bukanlah kemerdekaan yang serba tidak terbatas. Kemerdekaan itu tentu relatif, karena dibatasi oleh kemerdekaan pihak lain. Dalam arti lain, ada kemerdekaan lain selain kemerdekaan individu, yaitu kemerdekaan masyarakat. Faktor kemerdekaan yang secara inheren sebagai HAM (Hak Asasi Manusia) ini baru bisa terwujudkan secara benar dan baik apabila masing-masing individu menyadari tentang kuantitas dan kualitas hak dan kewajibannya masing-masing. Semakin besar dan luas hak yang dimiliki, maka akan semakin besar dan luas pula kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Hak dan kewajiban tersebut tentu terkemas secara tertulis atau tidak tertulis. Akan tetapi semua hal itu tetap harus korelatif dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, dan hal ini baru mudah dan ringan rasanya melaksanakannya bilamana di dalam setiap jiwa telah tertanam komitmen pribadi maupun komitmen sosial. Sebab jika perihal komitmen ini tipis kualitasnya, maka yang akan terjadi tak lebih dari sebuah verbalisme belaka. Dengan verbalisme ini seseorang merasa telah berbuat sesuatu hanya karena telah mengatakan, mengucapkan atau menghafal rumusan-rumusan atau teori.

Adapun nikmat ketiga, nikmat hidayah iman adalah nikmat yang tertinggi, karena manifestasi nikmat ini menentukan kualitas hubungan seorang individu dengan Allah, sehingga jika nikmat ini diikuti dengan perilaku hidup yang sesuai ajaran agama Islam maka potensi berpikir dan potensi berdzikir yang dimilikinya akan mengantarkannya sebagai ulul albab yang saleh / musleh.

III. Urgensi Mempermutu Peradaban Masyarakat

Kira-kira mudahkah menjabarkan atau memberdayakan nilai-nilai kemerdekaan itu ? Tentu tidak mudah. Karena secara internal, setiap individu memiliki hawa nafsu yang senantiasa menggodanya untuk melakukan perbuatan maksiat yang penuh dosa. Sehingga kunci strategisnya adalah haruslah disepakati bahwa hawa nafsu itu adalah musuh bersama yang harus diwaspadai setiap waktu. Jika musuh bersama mampu dijinakkan atau dikendalikan, maka dua langkah berikutnya akan mudah dilaksanakan.

Langkah apakah itu ? Yaitu langkah amal saleh secara internal dan amal saleh secara eksternal. Langkah amal saleh internal adalah sebagai berikut: (1) Mempermutu kecerdasan dan potensi kreativitas pribadi. (2) Mempermutu hidup istri, anak-anak dan keluarga secara sakinah, mawaddah dan rahmah. (3) Menajamkan wawasan teologis, bahwa cinta kepada Allah harus dibuktikan dalam bentuk cinta kepada sesama manusia secara enak dan harmonistik. (4) Melakukan perubahan individu yang sistematis dan berkarakter positif di mana hanya dapat dilakukan melalui strategi dan pelaksanaan sistem pendidikan yang Islami.

Adapun langkah amal saleh eksternal adalah langkah individual yang berdimensi sosial-budaya, yaitu: (1) Mempermutu budaya dan peradaban masyarakat. (2) Meng-advokasi kaum lemah dan para mustdh’afin. (3) Menajamkan wawasan teologis, bahwa kualitas sejarah umat sangat ditentukan oleh penjabaran keberimanan kepada Allah dalam setiap dinamika sosial budaya. (4) Melakukan perubahan sosial yang sistematis dan mengikat di mana dalam hal ini hanya dapat dilakukan melalui perjuangan politik di dalam forum parlemen negara.

Dua langkah tersebut dimungkinkan tidak mudah dilaksanakan. Sebab corak budaya masyarakat Indonesia lebih banyak yang bermodel paguyuban sehingga elite-elite pemimpinnya lebih memilih pola hubungan yang feodalistik. Dalam pola ini, kalau pun teori modernisasi budaya diterapkan, hasilnya tetap hanya menyentuh aspek ekonomi, sebab selain aspek ekonomi memang sengaja diseret ke suasana budaya bisu. Contohnya, sistem ekonomi modern yang diterapkan rezim orde baru (1967-1998) sangat leluasa diwujudkan karena disertai sistem budaya dan politik yang otoriter. Melawan sistem ekonomi jenis ini hanya bisa dengan perubahan lewat teori struktural, kata Arief Budiman.

Sedangkan langkah perjuangan politik melalui forum parlemen, idealisasi perubahan sosial yang bermutu dan berdimensi masyarakat madani juga tidak mudah dilaksanakan. Sebab SDM (sumber daya manusia) yang ter-rekrut ke lembaga-lembaga negara, baik legislatif, eksekutif atau yudikatif, masih ber- asal dari SDM-SDM yang terkontaminasi virus-virus negatif budaya politik orde baru. Hal semacam itu yang kini menjadi episode-episode yang menyedihkan di tingkat nasional akhir-akhir ini.

Maka apakah solusinya harus selalu berbentuk demonstrasi ? Tentu tidak ! Apalagi ditengarai ada sekian demonstrasi yang merupakan pesanan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan terhadap persoalan politik tertentu. Bahkan ada sekian tukang becak yang disewa untuk ikut berdemonstrasi dengan bayaran sesuai dengan pendapatan becak mereka biasanya sehari-hari.
Itulah problematika bangsa Indonesia ini !
Wallahu A’lam.

Kerukunan Antar Umat Beragama

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA :
TINJAUAN SPEKTRUM SOSIAL POLITIK
Oleh A. Naufal Ramzy

I. Pendahuluan

Kalau dikatakan bahwa perkembangan arus globalisasi peradaban dunia dapat memberikan harapan baru bagi kebermutuan hidup umat manusia secara lintas negara dan juga bagi agama, sungguh tidak terlalu benar. Globalisasi yang ditandai dengan kemudahan menguasai sains dan teknologi, di samping memang banyak memberikan manfaat positif bagi tampilan lebih praktis dalam menjalani kehidupan, ternyata juga banyak memberikan efek negatif terhadap pola-pola baru merebut supremasi sosial budaya dan sosial politik. Konflik-konflik antar negara dan antar penganut agama yang berbeda semakin menemukan bentuk yang lebih canggih. Gara-gara kemudahan menguasai sains dan teknologi, senjata-senjata atau bom-bom yang berdaya ledak tinggi dan mematikan tidak lagi perlu dibeli, namun cukup membuat sendiri.
Akibatnya, muncul musuh bersama yang baru bernama terorisme. Hingga saat ini dalang sekian jenis terorisme tingkat dunia tidak pernah terungkap secara jelas. Bukti-bukti autentik dugaan keterlibatan Usamah bin Laden dalam serangkain teror kelas kakap tidak dapat dibuktikan secara yuridis oleh USA. Demikian juga tuduhan berat bahwa negara Irak memproduksi senjata biologis pemusnah massal hingga saat ini tidak pernah bisa dihadirkan bukti-buktinya secara yuridis oleh USA. Alhasil, sekian tuduhan palsu USA tersebut berakibat munculnya stigma negatif terhadap komunitas dunia Islam. Padahal justru umat Islam-lah yang sering menjadi korban keganasan terorisme. Ketika bangsa Palestina membela diri karena selalu didholimi oleh Israel, ketika itu pula USA menuduh mereka sebagai teroris. Namun ketika Israel menghabisi nyawa sekian ribu bangsa Palestina dan merampas tanah- tanah mereka, tidak pernah terdengar USA berani menyatakan bahwa yang sesungguhnya teroris dan penjajah (imperialis) adalah negara Israel. Standart ganda USA yang semacam itu yang mengakibatkan harmonitas dunia hingga saat ini tak pernah tercapai. USA hanya berambisi menjadi polisi dunia yang penetratif,tetapi tidak pernah beridealisme menjadi filosof politik yang selalu memperjuangkan nilai-nilai luhur kemanusiaan secara universal.

Di Indonesia wacana tentang terorisme kian mencuat tatkala meletus kasus Ambon, bom Bali, kerusuhan Poso, bom Hotel Marriot, dan lainnya. Adapun khusus teror bom Bali, ada yang sebagian menganalisisnya dari sudut teori konspirasi, bahwa kasus itu merupakan produk kolaborasi antara agen dinas inteligen Mossad (Zionisme Israel), dinas CIA, dan elemen-elemen (oknum) tertentu di dalam negeri Indonesia. Tujuannya adalah : (1) Supaya tercipta image kuat bahwa Indonesia adalah sarang terorisme Islam. (2) Gerakan-gerakan Islam Indonesia yang kritis terhadap kebijakan politik luar negeri USA agar dibungkam oleh pihak Pemerintah RI. (3) Memecah belah NKRI supaya menjadi negara-negara kecil yang akan lebih mudah dikooptasi oleh USA. (4) Menekan Pemerintah RI untuk selalu mendukung sekian kebijakan politik luar negeri USA termasuk tatkala meng-invasi negeri Irak.
Akibat dari kasus-kasus itu timbullah situasi yang cukup menegangkan antar penganut agama yang berbeda di Indonesia. Tetapi patut disyukuri, karena ketegangan itu tidak berbuntut munculnya kesimpulan bahwa kasus-kasus itu merupakan “perang antar agama”, sehingga di antara elite pemimpin Islam di negeri ini tidak ada yang berani mendeklarasikan “perang fi sabilillah”, bahkan komunikasi antar umat beragama yang sering diprakarsai oleh pihak pemerintah agar dapat tercipta kerukunan yang optimal tetap bisa dilakukan.

Walaupun demikian,suasana kerukunan antar umat beragama di Indonesia tetap menjadi fokus kritikan. Salah satunya muncul dari Benny Susetyo (seorang Rohaniawan Kristen), bahwa kerukunan antar umat beragama di Indonesia masih bercorak serimonial, karena lembaga-lembaga agama hanya berdialog dalam level teologis, tetapi tidak menyentuh masalah mendasar, yakni masalah kemiskinan, pengangguran, dan berbagai ketidak-adilan struktural lainnya. Akibatnya, lembaga-lembaga agama itu tidak memainkan diri sebagai kekuatan penyeimbang.

II. Urgensi Kerukunan Antar Umat Beragama

Mencari urgensinya kerukunan antar umat beragama di negeri yang berpenduduk 200-an juta ini tidaklah sulit. Paham kemajemukan (pluralisme) bisa dijadikan salah satu dalil (teori) dalam mengelola kerukunan semacam itu. Sebab secara politis, paham pluralisme mengidealisasikan harmoni berkebebasan dalam penegakan kerukunan itu. Sedangkan dimensi harmoni merupakan idaman massif dari suatu bangsa yang majemuk di mana pun di dunia ini.
Secara paradigmatik, pluralisme ialah suatu sistem yang memungkinkan seluruh kepentingan dalam masyarakat luas bersaing secara bebas untuk mempengaruhi proses politik sehingga tercegahlah munculnya dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok lain.
Kelompok macam apa yang mampu sukses mempengaruhi proses politik semacam itu ? Tentu saja adalah kelompok yang terorganisasi secara baik layaknya sebuah organisasi yang bermanajemen modern. Mungkinkah kelompok semacam ini benar-benar ada di Indonesia ?
Karena paham pluralisme itu bertujuan dapat menghindarkan masyarakat dari tindakan-tindakan pendominasian, maka kelompok-kelompok / elite-elite pemimpin antar umat beragama dituntut memiliki keahlian dalam bernegosiasi dengan struktur negara agar supaya mereka dilibatkan dalam setiap rencana membuat undang-undang baru apa pun yang terkait dengan masa depan kehidupan seluruh rakyat, terlebih lagi kehidupan keagamaan secara luas.
Dalam konteks NKRI, kerukunan antar umat beragama tidak hanya untuk mengikis habis praktek pendominasian yang biasanya menimbulkan suatu ketidak-adilan sosial, tetapi juga dalam rangka tetap memperkukuh soliditas setiap komponen bangsa dan keutuhan jengkal-perjengkal wilayah tanah air yang amat luas, seluas dari Sabang hingga Merauke.

III. Tinjauan Spektrum Sosial Politik

Jika bisa disetujui apa yang dimaksudkan paradigma pluralisme di atas, maka kerukunan antar umat beragama tidak dapat ditafsirkan sebagai :
* Upaya mengikis habis entitas agama lain oleh agama tertentu dengan membawa dalih sebagai perintah Tuhannya dalam menyebarkan agama.
* Agama yang mayoritas harus diusahakan menjadi agama yang minoritas. Atau sebaliknya, agama yang minoritas harus diupayakan menjadi agama yang mayoritas. Atau juga memaksakan opsi baru, bahwa agama yang mayoritas bersedia menerima tawaran kuantitas fifty-fifty, 50%-50%, sehingga istilah mayoritas dan minoritas menjadi tiada dan tak relevan lagi diperbincangkan.
* Dengan alasan menghindar dari tindakan pendominasian, boleh-boleh sajalah menganggap benar seluruh ajaran agama apa pun, sehingga boleh juga sewaktu-waktu pindah agama, toh semuanya sama-sama benar dan menuju ke satu surga.
*Dianggap boleh mengajak penganut agama tertentu untuk pindah ke lain agama, termasuk dengan iming-iming memberi sejumlah besar uang.
*Dengan alasan tidak akan mungkin muncul pendominasian, boleh-boleh saja membangun rumah ibadah agama tertentu yang jemaahnya tidak menjadi warga setempat di tengah - tengah mayoritas penduduk yang beragama lain.

Kondisi sosial politik yang pluralistik tidak sertamerta memberi ekspektasi demokratisasi secara optimal, terlebih lagi jika dikorelasikan dengan corak kompetisi yang wajar terjadi di tengah-tengah umat atau masyarakat yang berbeda agama. Sebab dapat diduga, bahwa solidaritas atau soliditas intern dalam satu agama banyak diperkuat dengan verifikasi yang simbolistik. Sementara di lain pihak sekian banyak dari mereka amat membutuhkan pada inovasi yang realistik dan tidak terkesan klise. Maka jika kini bangsa Indonesia ini memang amat sangat membutuhkan demokratisasi yang betul-betul bisa menghadirkan harmoni dan sikap saling memahami kepentingan kita masing-masing tanpa perlu mengganggu ketentraman pihak lain (mutual-understanding), maka tentu saja para elite kita harus dapat melakukan koordinasi dan kontrol terhadap proses pembuatan dan pemberlakuan suatu undang-undang atau keputusan menteri, gubernur, bupati dan seterusnya.

Mengapa demikian, sebab tatkala pluralisme bangsa Indonesia serius mewujudkan demokratisasi secara luas dan bermutu, sudah bisa diduga akan menggugah tumbuhnya partisipasi dan emansipasi yang kompetitif, sehingga karenanya jika tidak serius dilaksanakan koordinasi dan kontrol antar lembaga terkait, maka bisa diramalkan akan menimbulkan kondisi “api dalam sekam” yang sewaktu-waktu bisa meledak dahsyat serta sulit ditemukan solusinya.

Bagaimana caranya bangsa Indonesia, lebih khusus lagi para elite pemimpinnya secara lintas sektoral, bisa mempunyai kemampuan atau skill koordinasi dan kontrol yang optimal, terutama dalam konteks kerukunan antar umat beragama ? Jawabannya ialah tawaran konseptual yang diketengahkan dalam artikel ini, bahwa jika suatu negara dikaitkan dengan agama maka akan terjadi asumsi fungsionalisasi antar keduanya. Di satu pihak negara menginginkan entitas agama dapat berguna untuk memperkukuh soliditas dan wibawanya agar tercapai tujuan pokok kenegaraan, yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Sedangkan di pihak lain, agama membutuhkan entitas negara untuk mempertahankan dan memajukan para penganutnya plus lembaga keagamaannya. Khususnya di Indonesia, dinamika semacam ini terus berlangsung dari semenjak negeri ini merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehingga sekuat apa pun gerakan-gerakan yang anti-agama akan selalu bernasib sial jika aktif bergerilya di bumi Indonesia. Artinya, paham komunisme sulit mampu berkembang dahsyat dan bertahan di negeri ini.

Siapakah aktor dari negara dan agama itu ? Tentu saja seluruh warga negara Indonesia. Adapun format representasinya menyebar di seluruh lembaga kenegaraan dan lembaga-lembaga agama semacam MUI, PGI, KWI, Perisadha Hindu, dan Majelis Agama Budha, serta ormas-ormas keagamaan.

Menurut hemat penulis,untuk mempermantap kualitas kerukunan antar umat beragama, seluruh komponen aktor / elite negara dan elite komunitas umat beragama tersebut di atas perlu melakukan langkah-langkah visioner berikut ini :

Pertama, sepenuh hati meyakini & mematuhi seluruh ajaran kitab suci sesuai dengan agamanya masing-masing. Dalam spektrum inilah di kalangan pemimpin umat Islam (Majelis Ulama Indonesia) sangat wajar dan tidak aneh membuat fatwa agama tentang diharamkannya penganut agama Islam mengikuti proses ritual perayaan Natal setiap tgl 25 Desember. Sebab kitab suci Al-Qur an secara tegas melarangnya (QS Al-Kafirun : 1-6, QS Al-Baqarah : 42, QS Maryam : 30-32, QS Al-Maidah : 72, 73 & 75, QS Al- Baqarah : 285, QS Al-Taubah : 30, QS Al- Maidah : 116-118, QS Al-Ikhlash : 1-4 ). Walaupun demikian, umat Islam sungguh diperbolehkan untuk bekerjasama dan bergaul dengan umat agama-agama lain dalam masalah-masalah keduniaan (Lihat QS Al-Hujurat : 13, QS Luqman : 15, dan QS Mumtahanah : 8). Karena itulah tidaklah benar bila dikatakan bahwa doktrin agama Islam bercorak sempit dan alergi terhadap perbedaan agama.

Kedua, Pancasila tidak sekedar dipandang sebagai ideologi negara, tetapi juga sebagai common-platform dalam hidup bermasyarakat. Artinya, esensi kelima sila dari Pancasila semestinya dijadikan spirit untuk mempermutu peradaban umat agamanya masing-masing, sekaligus mewaspadai penyebaran paham atau ideologi komunisme di negeri yang “agamis” ini. Sebab komunisme yang anti-Tuhan sangat bertentangan dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun untuk menindaklanjuti kedua langkah visioner tersebut, di dalam jiwa seluruh aktor/elite bangsa ini diperlukan tumbuhnya sikap mental yang konstruktif-dinamis. Bentuknya sebagai berikut :
1. Sikap hormat terhadap martabat setiap manusia. Segala bentuk penjajahan, paksaan, diskriminasi, dan penghinaan terhadap sesama manusia harus dilawan dan “diperangi” secara struktural.
2. Toleran dan lapang dada terhadap perbedaan agama dan aliran madzhab selama tampilannya tidak destruktif.
3. Secara berkala saling berkomunikasi untuk mensintesiskan aneka produk pemahaman atas esensi Pancasila.
4. Jika suatu saat muncul konflik, baik konflik horizontal atau vertikal, haruslah diresponsi secara tidak emosional, sedangkan elite pemimpinnya segera saling berkomunikasi secara intensif dalam rangka menemukan solusinya.

Ilustrasi menarik mengenai hal itu adalah responsi yang tidak emosional yang ditunjukkan oleh Lembaga Keuskupan Bandung atas kasus kerusuhan Tasikmalaya pada tanggal 26 Desember 1996. Gereja Paroki Hati Kudus Yesus diserang sejumlah massa dan sempat merusak bangunannya. Responsi yang dimaksud diungkapkan dalam pernyataan:
“Lewat pertemuan-pertemuan umat territorial maupun kategorial, dalam dialog bersama saudara-saudara kita yang beragama lain, kita menciptakan suatu kebersamaan yang terbuka, untuk saling mengenal dan saling mengerti. Dari sini akan tumbuh saling menghargai dan saling menghormati, untuk sama-sama berpegang pada nilai-nilai moral yang luhur, dan mengusahakan keadilan dan perdamaian.”

Secara filosofis, sikap mental menghormati orang lain merupakan suasana batin yang terbebas dari relasi-relasi kuasa apa pun di sekitarnya. Suasana semacam ini bisa memantulkan kesadaran sejati dari lubuk hati nurani yang tercerahkan oleh kondisi batin yang terbebaskan itu. Lalu ia pun ber- analogi begini : “Sudah pasti seekor semut tidak akan pernah bahagia tatkala dirinya di-injak oleh kaki manusia, dan sudah pasti pula selembar daun tetumbuhan merasa tidak bahagia dikencingi oleh oknum manusia. Maka terlebih lagi jika yang di-injak dan dikencingi itu bukan semut atau daun, namun justru manusia sesamanya, tentu saja betapa pedih dan tersayat hati serta perasaannya menerima tindakan yang tidak bermoral (kejam) semacam itu.”

Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa sikap membela diri dari penganiayaan pihak lain atas dirinya adalah suatu kebenaran. Al-Qur an S. Asy – Syura (42) ayat 41 – 43 menjustifikasi soal ini :

ولمن انتصربعدظلمه فاولئك ما عليهم من سبيل ? انما السبيل على الذين يظلمون الناس و يبغون فى الارض بغيرالحق اولئك لهم عذاب اليم ? ولمن صبر و غفر ان ذالك لمن عزم الامور ?

Artinya : “Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri karena teraniaya, maka tidak ada jalan untuk menyalahkan mereka (41).Sesungguhnya ada jalan ( yang salah adalah ) orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih (42). Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan (43).”

Adapun follow up dari bentuk sikap mental yang konstruktif-dinamis semacam itu bisa berupa penjabaran format manajemen dakwah (mengajak orang lain berbuat baik dan menghindari dari berbuat jelek) yang tidak provokatif, tetapi tetap berorientasi pada pembermutuan teologis yang inklusif – transformatif di dalam jiwa umat. Makna inklusif di sini bukan mengarah pada pembenaran seluruh ajaran agama lain (kecuali agama yang dianutnya), namun justru berorientasi pada sikap mengajak orang lain untuk bersama-sama berbuat kebaikan agar supaya tidak hanya dirinya yang akan memperoleh pahala dan keuntungan. Sedangkan transformatifnya bermakna kesadaran untuk selalu bersemangat melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih bermutu dan berkeadilan. Di sini tegas sekali diisyaratkan, bahwa agama sangat strategis dijadikan fundamen social action (perilaku / aksi nyata kemasyarakatan), di mana paham teologisnya bisa merefleksi sebagai kesalehan sosial (yakni tidak hanya kesalehan individual saja).

Ketiga, para elite pemimpin agama-agama dan pejabat negara memiliki kesadaran yang sama, bahwa Pembukaan UUD 1945 dan Amandemennya seharusnya dipahami secara integral, koheren, dan aktualitatif. Kalimat “religius” dalam Pembukaan UUD 1945 yang teksnya berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” haruslah dicamkan sebagai visi religius yang mencerahkan bagi bangsa Indonesia dan seharusnya diimplementasikan secara “membebaskan” pula dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Visi religius itu dipertegas lagi dalam batang tubuh UUD 1945 (Amandemennya) Bab XI Pasal 29 yang berbunyi :“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” (ayat 1), dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (ayat 2). Dalam konteks itu, pemahaman teologis dari masing-masing penganut agama yang berbeda harus sinkron dengan implikasi praktisnya yang membentuk pola-pola perilaku sosial keagamaan ( religious behaviour ) tertentu secara lebih etis dan dinamis. Hal ini mungkin tidak terlalu mudah mewujudkannya secara massif. Namun jika para elite pemimpin agama yang berbeda itu telaten menekuni tugas dakwahnya, hal itu akhirnya juga akan dapat dicapai.

Keempat,setiap undang-undang kenegaraan yang diberlakukan hendaknya dipahami dan benar – benar diterapkan secara konsisten-sistematis serta tak bercorak diskriminatif.
Namun untuk mengaplikasikan visi langkah ketiga dan keempat di atas rasanya membutuhkan kepada tumbuh dan menguatnya wawasan berpikir yang rasional, luas, dan inovatif. Bentuknya adalah :
1. Bebas memilih partai politik, tetapi tetap ber-fatsoen tidak konfrontatif, tanpa memperalat doktrin-doktrin agama.
2. Pengembangan entitas agama koheren dengan perundang-undangan yang berlaku maupun keputusan-keputusan menteri terkait, tanpa mengganggu entitas agama lain.
3. Elite / aktivis agama - agama berusaha saling menjadi Penyeimbang di tengah-tengah kekuatan negara dan penetrasi kapitalisme global.
4. Secara berkala diadakan dialog antara elite / aktivis agama-agama dengan pihak Pemerintah / Lembaga Negara terkait.

Memang, pengembangan wawasan berpikir rasional dan inovatif hingga kini masih sering dihambat oleh sulitnya mengikis habis efek negatif dari budaya paternalistik di tengah peradaban rakyat Indonesia. Malah, budaya ini sengaja dipertahankan justru untuk merebut posisi kekuasaan politik. Budaya ini biasanya berbentuk kultus individu, asal bapak senang,sungkan mengkritisi ketimpangan sosial dan mudah menganggap wali atau sakti pada seseorang. Andaikan tiap umat beragama telah memiliki wawasan berpikir rasional yang luas dan inovatif, maka komponen aktor / elite agama dan pejabat terkait di atas tidak akan sulit merajut suatu kerjasama dalam ber-inovasi untuk mempermutu kedamaian kolektif, yang sekaligus disertai dengan upaya memperkecil eskalasi konflik tertentu, atau malah mampu mengikis habis potensi-potensi konflik yang bersifat laten.

Mengapa suatu konflik sertamerta muncul ke permukaan ? Pada umumnya suatu konflik disebabkan oleh salah satu dari kemajemukan (pluralisme) horizontal, atau kemajemukan vertikal. Kemajemukan horizontal secara sosial budaya dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur budaya dan unsur kelompok saling berusaha mempertahankan corak identitasnya dan karakteristik budaya yang dipegangnya dari ancaman budaya lain. Demikian pula kelompok tertentu akan mempertahankan kepentingan-kepentingan berbeda yang terkadang saling berkontradiksi. Sementara kemajemukan vertikal dapat menyulut konflik tertentu adalah karena struktur sosial yang terpolarisasi menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan, di mana mereka akan mempunyai kepentingan berbeda pula yang seringkali kelompok yang kuat akan mendominasi kelompok yang lemah. Sedangkan kelompok yang lemah jikalau secara terus-menerus diperlemah atau dieksploitasi, besar kemungkinan di suatu saat nanti akan bergerak menjadi kekuatan dahsyat yang siap “menghabisi” kelompok yang kuat tadi. Demikian dan seterusnya.

Lalu siapakah yang diduga kuat akan mampu mengatasi model krisis semacam itu ?
Secara ideal pihak atau elite yang mampu mengatasi krisis konflik semacam itu adalah yang mempunyai tipe-tipe atau spesifikasi ke-SDM-an :
1. Figur yang mempunyai mental / karakter kenegarawanan.
2. Figur yang tidak memilki egoisme pribadi.
3. Figur yang selalu jujur mendengarkan suara hati nuraninya.
4. Figur yang selalu gelisah dan siap melawan praktek-praktek ketidak-adilan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan lainnya yang terkategori tindak kejahatan serius yang insidental atau yang sistematis.
5. Figur yang berwawasan luas dalam melihat urgensi kedamaian, harmoni, dan dinamika kolektif yang kualitatif.
6. Figur yang berkarakter perduli kepada nasib sesama, yakni tidak individualistik.
7. Figur yang konsisten mengamalkan ajaran agamanya menjadi kesalehan sosial.
8. Figur yang cerdas menemukan solusi, dan ber-strategi matang dalam merajut kerjasama dengan pihak mana pun.
9. Figur yang tidak tergila-gila kepada 3TA, yaitu harta, tahta dan wanita, sehingga keluhuran budinya akan slalu terpatri.

Jika seluruh komponen elite agama-agama dan pejabat negara secara pelan-pelan mampu menginternalisasikan sembilan tipe atau spesifikasi ke-SDM-an di atas, maka optimisme baru akan mudah menyebar ke mana-mana, bahwa di antara mereka tidak akan sulit dilakukannya kerjasama yang serius (bukan setengah hati) untuk mempermutu peradaban bangsa Indoinesia yang secara minimal ber-program empat macam agenda berikut ini :
1. Sepenuh hati mau memerangi praktek korupsi, dan memenjarakan para koruptor baik yang kelas teri maupun yang kakap.
2. Sistematis dalam memerangi kemiskinan struktural. Khusus internal umat Islam, ada niat serius untuk jujur mengeluarkan zakat dan profesional mengelola lembaga lembaga zakat, infaq, dan shadaqah.
3. Memperjuangkan (secara advokatif) nilai-nilai keadilan sosial dan penegakan nilai-nilai HAM (hak asasi manusia).
4. Membangun sektor primer atau sekunder lainnya yang dibutuhkan oleh rakyat.

Apakah spektrum tawaran pemikiran di atas cukup rasional dan feasible direalisasikan ? Tentu saja kita harus optimis, agar supaya idealisme kita mengenai kerukunan antar umat beragama benar-benar termanifestasikan secara memuaskan.
Apalagi jika idealisme itu dikorelasikan dengan perjalanan era reformasi yang memasuki umur 10 tahun (1998-2008), maka sikap sabar dan tabah kita sangatlah dibutuhkan. Sebab proses perubahan dalam momentum reformasi ini ibaratnya seperti mengubah arah perjalanan kapal tanker yang caranya tentu tidak seperti mengubah arah speedboat, kata Anies Baswedan, sehingga butuh kesabaran. Karenanya, kualitas managemen kerukunan antar umat beragama tidak hanya merupakan keniscayaan secara horizontal (rakyat antar rakyat), tetapi juga menjadi bagian dari penyempurnaan aspek-aspek urgen dalam setiap kebijakan politik reformasi secara vertikal di negeri yang sebetulnya berkarakter harmonis ini.
Optimisme semacam itu pernah dilontarkan oleh Nurcholish Madjid, bahwa SDM-SDM Indonesia sebetulnya berkarakter sabar, tekun dan telaten dalam mengusahakan terwujudnya sesuatu yang semula justru dipandang mustahil. Pernyataannya begini:
“SDM Indonesia berpangkal dari semangat dan kemampuan menunda kesenangan sementara. Ia berpegang teguh kepada prinsip “deferred gratification” atau ganjaran kenikmatan yang tertunda, karena yakin di belakang hari, dalam jangka panjang, ada kebahagiaan yang lebih besar dan lebih hakiki. Dengan kata lain, SDM Indonesia adalah SDM yang mampu berpikir dan mengembangkan tingkah laku atas dasar prinsip “Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, seperti juga dikatakan dalam bahasa Inggris, “You may lose the battle, but you should win the war.”

Sabtu, Oktober 06, 2007

Hikmah Al-Qur'an

FUNGSI AL-QUR'AN DALAM PERUBAHAN SOSIAL
MENUJU MASYARAKAT MADANI

Oleh A. Naufal Ramzy

A. Pendahuluan

Mencermati fenomena perkembangan umat Islam dewasa ini terdapat dua hipotesa (kesimpulan sementara) yang justru bertolakbelakang. Di satu sisi, umat Islam sibuk membangun dan merenovasi bangunan masjid secara lebih megah dan juga kian banyak yang menunaikan ibadah haji untuk yang keduakalinya. Namun di sisi lain, sekian banyak umat Islam sibuk menjadi pelaku rentenir, pelaku korupsi, pengadu-domba, pemfitnah dan sekian macam perbuatan maksiat lainnya seperti menipu,berzina dan pengguna narkoba. Dua fenomena ini mencuatkan satu pertanyaan klasik: “Ada something wrong apakah di tengah umat Islam sehingga peradaban mereka semakin terpuruk?”

Hal tersebut berdasar pengamatan oleh pihak internal umat Islam sendiri karena begitu kecewa dan cemasnya melihat fakta-fakta kontradiktif mereka. Akan tetapi di kalangan eksternal umat Islam beredar suatu persepsi bahwa sangatlah sulit memurtadkan umat Islam untuk pindah ke agama lain oleh karena sejak 10 tahun yang lalu tumbuh gairah yang kuat untuk mendirikan lembaga TK Al-Qur'an hingga ke pelosok pedesaan. Penyebaran dirintisnya TK Al-Qur'an memberikan efek domino yang sangat fungsional terhadap kehidupan umat Islam, bahwa sebagai penganut agama Islam tidak sepantasnya mereka tidak mengenal dan tidak memahami kitab suci agamanya dari sejak usia dini.

Oleh karena itu, menyikapi fenomena banyaknya umat Islam yang semakin rajin berbuat maksiat, tidak sepantasnya terlalu pesimistik menatap masa depan peradaban mereka. Sebab sekian banyak anak-anak, putera-puteri mereka, sudah mengenal teks-teks Al-Qur'an sejak mereka berumur 4 tahun. Apalagi di tengah umat Islam kini juga tumbuh gairah merintis TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) setingkat MI / SD dan MTA (Ma’had Tahfidh Al-Qur an) setingkat SMP dan SMU. Misalnya program Tahfidh al-Qur'an yang sejak 10 tahun yang lalu diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura pada tingkat SMP, SMU dan MAK.

Nah, cukupkah kitab suci Al-Qur'an al-Karim hanya dibaca, dihafalkan, dan dipahami maknanya ? Bukankah jika tak diamalkan tentu tidak akan berfungsi maksimal bagi perubahan dan pengembangan kehidupan masyarakat ?

B. Prinsip-prinsip Kandungan Al-Qur'an

Secara bahasa, Kata Al-Qur an berarti bacaan yang sempurna, kitab suci yang sangat lengkap, dan merupakan miniatur “ayat-ayat Allah” yang terhampar dari seluruh fakta Kemahabesaran-Nya yang bersifat mukjizati. Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Al-Qur'an ini, bukanlah sekedar menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia,namun juga bisa menjadi mitra dialog (teman curhat) dalam menyikapi aneka ragam problematika kehidupan.

Seluruh ayat Al-Qur'an yang berjumlah 6236 ayat, menurut M. Natsir Arsyad (1996: 13),terbagi menjadi lima prinsip kandungan keislaman:

Pertama, aqidah tauhid yang menegaskan bahwa Allah SWT adalah Maha Esa dan tidak ada tuhan apa pun kecuali Dia. Demikian juga, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah rasul dan utusan-Nya yang terakhir. Rukun Iman yang enam juga termasuk dalam prinsip yang pertama ini.

Kedua, syari’at yang terdiri atas ibadah mahdhah (murni) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dan ibadah mu’amalah (ibadah sosial) yang mengatur hubungan timbal balik antar sesama manusia, seperti transaksi bisnis, akad nikah,persaksian,termasuk juga hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya dan alam lingkungan ekologis.

Ketiga, akhlak yang mulia, yang menyucikan perilaku dari perbuatan tercela, membersihkan jiwa dari kepamrihan, dan mengajak hati nurani untuk mencapai kebahagiaan di mata Allah.

Keempat, kisah-kisah masa lalu untuk ditarik pelajaran darinya, sebagai peringatan, perbandingan, keteladanan dan perumpamaan yang bernilai sehingga umat manusia bisa lebih bijak (‘arif) merespon setiap problema hidup. Misalnya kisah Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman, Nabi Yunus, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Muhammad SAW dan lainnya.

Kelima, berita-berita masa depan dan pasca masa depan serta bentuk-bentuk ilmu pengetahuan modern. Seperti teori kejadian alam semesta, posisi matahari, bumi, proses kehidupan makhluk yang berpasang-pasangan dan lainnya.

Kelima macam prinsip itu disederhanakan lagi menjadi 3 (tiga) pilar (dimensi) doktrinal agama Islam yaitu: Dimensi Aqidah, Dimensi Syari’ah, dan Dimensi Akhlak. Umat Islam diatur untuk mengamalkan ketiga dimensi ini sepanjang hidup, dari mulai bangun tidur hingga tengah malam mau tidur kembali.

Maka jika kembali kepada pertanyaan tadi: “Ada something wrong apakah di tengah umat Islam sehingga peradaban mereka semakin terpuruk?” Jawabannya: Mungkin sebagian besar dari mereka tidak secara simultan mengamalkan ketiga dimensi ajaran Islam tersebut, yakni bermoralitas ganda, kata Sudirman Tebba (1993: 68-75). Mereka telah rajin shalat dan bergelar haji, tetapi dalam berekonomi mereka tega menggunakan cara-cara penipuan dan model yang haram lainnya. Mengapa demikian, karena bisa jadi keislaman mereka hanyalah Islam kultural yang berbasis pada adat-istiadat, bukan Islam yang spiritualistik yang berbasis pada kesadaran teologis (bertauhid) secara pribadi. Mereka berislam secara asesoris yang menempatkan Allah tidak di puncak wawasan berpikirnya. Allah tidak penting bagi mereka. Yang terpenting bagi mereka bagaimana meraih uang yang sebanyak-banyaknya untuk memuaskan naluri hawa nafsu mereka. Tanpa sadar, menurut istilah Kuntowijoyo (1997: 173), mereka telah memegang dan mengamalkan paham (ideologi) materialisme yang hedonistik.

C. Al-Qur'an Sebagai Paradigma Perubahan Sosial

Jika sebagian banyak umat Islam telah tanpa segan lagi mengamalkan paham materialisme, masihkah kondisi semacam itu diperbaiki dan ditemukan solusinya yang terbaik ?

Tentu harus menjawab masih ! Sebab umat Islam masih bermodal besar yang berupa kitab suci Al-Qur'an. Perubahan so- sial umat Islam masih bisa dilakukan secara prospektif apabila mereka mau menyadari tentang pentingnya “Kembali kepada Al-Qur'an”. Dengan sikap ini, otomatis juga akan amat memper- hatikan seluruh sabda, sikap dan tradisi Nabi Muhammad SAW. Dengan Al-Qur'an sebagai basis rujukan perilaku hidup, maka dijamin oleh Allah bahwa mereka akan terangkis dari kegelapan atau kegelisahan hidup yang terus-menerus. Firman-Nya:(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Al-Qur an S. Ibrahim : 1).

Dalam petikan ayat di atas terdapat 3 kata kunci yang menentukan perbaikan hidup umat manusia. Pertama, umat manusia pasti membutuhkan “cahaya terang benderang” dalam kehidupannya, dan tidak mungkin mereka menyukai suasana hidup yang “gelap gulita”. Kedua, Al-Qur'an dapat di-efektif-kan dengan cara dibaca, didalami maknanya dan diamalkan ajarannya, agar supaya diperoleh jalan lurus untuk memperoleh hidayah Allah. Ketiga,usaha meng-efektif-kan ajaran Al-Qur an dalam kehidupan sehari-hari juga sangat ditentukan oleh izin (hak prerogatif) dari Allah, yakni pertolongan-Nya, sebab tanpa ini semua sia-sia.

Maka tatkala seseorang mengalami kebangkrutan dalam sistem kehidupannya, baik bangkrut secara finansial maupun secara spiritual, ia tidak sepantasnya lari dari kenyataan dan kemudian “berfatamorgana” dalam bentuk doyan mengkonsumsi miras atau narkoba (sabu-sabu & sejenisnya), maupun menjadi aktivis judi. Ia sebaiknya melakukan langkah-langkah strategis berikut:

Pertama, berkonsultasi (curhat) pada seorang guru (figur) spiritual yang berakhlak luhur / bermoral tinggi di mana segenap perilakunya patut diteladani karena bercorak konsisten antara ucapan dan amal salehnya sehari-hari.

Kedua, memperbaiki kualitas shalat fardhu dan shalat sunnahnya. Sebab dengan shalat yang bermutu maka seseorang dapat terhindar dari perbuatan jahat (jahat pada diri sendiri atau para orang lain), yang menurut Hamka (1982: 71-80) adalah ibadah shalat yang ikhlas sepenuh hati.

Ketiga, membaca Al-Qur an secara rutin (istiqamah) setiap hari, dan usahakan dipahami dengan maknanya. Sebab jika setiap umat Islam bertemu dengan sederetan redaksi ayat Al-Qur'an maka sesungguhnya mereka bertemu dengan Allah melalui ungkapan firman-Nya. Jika ungkapan ayat Al-Qur'an itu melintas atau diam sejenak di dalam hati nurani dan akal pikiran mereka, Insya Allah akan muncul rasa malu dan rasa berhutang budi kepada Allah atas segala nikmat-nikmat-Nya yang selalu mereka terima dan rasakan setiap waktu. Artinya,andaikan bukan karena pertolongan dan rahmat Allah, tadi malam ketika mereka berangkat tidur, pagi harinya mereka tidak akan bangun kembali yakni tidur selamanya (wafat). Nah, semakin kuat rasa berhutang budi kepada Allah terpatri di dalam jiwa dan wawasan berpikir umat Islam, maka akan kian menguat pula kualitas spiritualistik mereka, sehingga mereka akan rajin beramal shaleh, baik yang personal atau sosial.

Keempat, menambah dan memperluas wawasan berpikir dengan rajin membaca buku ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum. Aktif di bidang pendidikan akan membantu prosesnya hal yang satu ini, baik posisinya sebagai guru / pendidik maupun sebagai pelajar / mahasiswa. Semakin luas wawasan berpikir umat Islam, maka akan semakin mampu berdialog dengan Al-Qur'an, sebab -kata Umar Shihab (1990: 79), salah satu karakter Al-Qur'an adalah siap berdialog dengan seluruh umat manusia, seperti yang tertuang dalam ayat ini:”Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Al-Qur'an S. Shaad: 29).

D. Menuju Terbentuknya Masyarakat Madani

Masyarakat madani -kata M. Dawam Rahardjo (1999: 282)- adalah masyarakat yang penuh kedamaian karena di dalam sistem sosio-kultur-politik-nya telah terbingkai suatu keadilan sosial,kesederajatan, kebebasan berpikir, demokratisasi dan perlindungan HAM. Mungkinkah umat Islam membangun masyarakat madani dalam zaman yang kian kompetitif dan modern ini ? Tentu perlu dijawab: Mungkin dan bisa !

Kunci ke arah sana sederhana, yaitu perubahan sosial yang komprehensif. Dalam arti lain, perubahan yang digerakkan oleh animo kerja keras dan konstan berdoa kepada Allah SWT. Sedangkan kerja keras membutuhkan kecerdasan berpikir dalam mengambil kebijakan publik / personal. Sementara kecer-dasan berpikir mensyaratkan dimilikinya software metodologi berpikir agar supaya valid dalam mengambil kesimpulan.

Karena itu, umat Islam harus memahami secara filosofis firman Allah SWT berikut ini (Al-Qur'an S.Al-Ra’du : 11): “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah [Malaikat Hafadhah]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [situasi yang mundur terpuruk] yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

(*) Makalah ini telah didiskusikan dalam Forum LKIM (Lembaga Kajian Islam Mujahidin) di rumah Bapak Drs. Moh. Yusuf Suhartono (Kadis Diknas Pemda Kabupaten Pamekasan Madura), Pamekasan, Senin, 18 Jumadilawal 1428 / 04 Juni 2007,Pukul 19.00 - selesai.

Referensi Makalah :

1.M. Natsir Arsyad, Seputar Al-Quran Hadis & Ilmu (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1996), Cet. ke-4.

2.Dewan Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur an, Al-Qur an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989).

3.Sudirman Tebba, “Moralitas Ganda Umat dan Pemikiran Islam”, dalam A.Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), Cet. ke-1.

4.Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cet. ke-2.

5.Hamka, Iman dan Amal Shaleh (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Cet. ke-1.

6.H. Umar Shihab, Al-Qur an dan Rekayasa Sosial (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), Cet. ke-1.

7.M. Dawam Rahardjo, “Pembangunan Orde Baru dan Masyarakat Madani”, dalam TIM Maula (Editor), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. ke-1.

Peradaban Global

GLOBALISASI PERADABAN DUNIA:
ANTARA HEGEMONI MODERNISME
DAN RESPON PARADIGMA KEISLAMAN

Oleh A. Naufal Ramzy


A. Globalisasi Peradaban Dunia

Jauh sebelum hingar-bingarnya wacana globalisasi peradaban dunia muncul ke permukaan publik, pada tahun 1965, seorang pakar intelektual dari Harvard University Amerika Serikat bernama Harvey Cox (1965) pernah memprediksikan bahwa modernisme dan modernisasi hanya akan menciptakan "secular city" ; bahwa modernisme dan modernisasi adalah lonceng kematian bagi agama-agama. Ia berteori, semakin modern suatu masyarakat, maka semakin jauh pula mereka dari agamanya. Agama diprediksikan tidak akan pernah bangkit lagi di tengah arus modernisasi yang mengglobal dan akan direporkan oleh gerak sekularisasi yang tidak akan terbendung itu.

Apakah itu modernisasi yang kemudian melahirkan isme baru yang disebut modernisme ? Di antara para teoretisi (Samuel Huntington, 1976: 30-31) perspektif modernisasi ada yang menyebut ciri-ciri pokok modernisasi sebagai berikut:

Pertama, modernisasi merupakan proses bertahap. Teori Rostow misalnya, membedakan berbagai fase pertumbuhan ekonomi yang hendak dilalui oleh setiap masyarakat. Masyarakat yang semula berekonomi primitif di suatu saat nanti akan terposisikan di dalam tatanan sosial ekonomi yang maju dan kompleks. Jadi menurut teori ini, modernisasi ditafsirkan sebagai proses pengembangan taraf ekonomi masyarakat secara pelan-pelan dan bertahap. Negeri kita pernah menggunakan teori Rostow ini di zaman rezim Orde Baru melalui konsep pembangunan REPELITA tahap I dan II di mana klimaksnya bukan berhasil menjadi negara yang secara ekonomi "tinggal landas" akan tetapi justru benar-benar mengalami "tinggal di landasan tumpukan hutang kepada IMF".

Kedua, modernisasi juga dipahami sebagai proses homogenisasi. Menurut sudut pandang ini, semakin banyak tahapan kemoderenan dilalui oleh sejumlah besar suatu bangsa, maka semakin homogen bentuk dan karakteristik sosial budaya masyarakatnya.

Ketiga, modernisasi terkadang terwujud dalam bentuk peniruan total terhadap budaya ekonomi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Bahkan untuk mencapai kemajuan ekonomi seperti mereka, tradisi-tradisi baru yang ultra-liberal tak dipersoalkan lagi dari perspektif ajaran agama. Sikap latah meniru mereka menghinggapi hampir sebagian besar negara-negara dunia ketiga (negara-negara selatan), termasuk negeri kita Indonesia.

Keempat, modernisasi juga dipandang sebagai proses yang tidak bergerak mundur. Karena tatkala paradigma ini telah terinternalisir ke dalam sudut-sudut pikirannya maka tidaklah dapat lagi dihentikan. Dalam hal ini modernisasi dinilai sebagai "suatu jawaban universal" problematika negara-negara dunia ketiga, terlepas apakah nanti bertentangan dengan tradisi lokal yang bercorak luhur.

Kelima, modernisasi merupakan perubahan progresif. Sekalipun efek samping maupun korban modernisasi beraneka ragam dan seringkali sangat tidak manusiawi, ternyata dalam jangka panjang, modernisasi tidak sekedar merupakan sesuatu yang pasti terjadi, tetapi lebih dari itu modernisasi dilihat sebagai sesuatu yang diperlukan dan diinginkan. Dalam konteks ini, modernisasi melibatkan proses yang terus-menerus dan sulit dihentikan dikarenakan menyangkut hajat hidup yang primer bagi masyarakat.

Kelima macam ciri pokok modernisasi di atas secara historis cikal-bakalnya dilahirkan oleh ideologi kapitalisme yang secara sistematis mendikte perkembangan sosial budaya ekonomi masyarakat untuk terjun berkecimpung ke tengah gerakan individualisasi manusia. Karena itu, di bidang keagamaan gerakan itu menimbulkan reformasi dalam memahami teks-teks ajaran agama, dan di bidang penalaran berpikir melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam baru. Sedangkan di bidang hubungan masyarakat gerakan itu memunculkan ilmu-ilmu sosial baru. Dan yang terutama secara makro, semua itu berada di dalam relasi-relasi kuasa yang hegemonik dari ideologi kapitalisme itu, di mana di sektor ekonomi semuanya itu saling tarik-menarik di atas tujuan-tujuan pragmatis.

Adapun ciri khas ideologi kapitalisme itu, kata William Ebenstein & Edwin Fogelmen (1987: 148-152) berupa : (1) Pemilikan perorangan (individual ownership), yakni menjustifikasi menguasai secara pribadi apa pun yang berada di atas bumi ini. (2) Perekonomian pasar (market economy), bahwa mekanisme ekonomi masyarakat sangat ditentukan oleh kuantitas modal (kapital), volume permintaan dan tingkat penawaran barang atau jasa. (3) Persaingan (Competition), bahwa ekonomi pasar amat melibatkan suasana persaingan, semakin kuat kapital yang dimiliki, maka semakin berpeluang pula memenangkan persaingan yang super-ketat sekalipun. Dan yang (4) Keuntungan (profit), yaitu cita-cita puncak yang pasti diinginkan oleh sang pelaku ekonomi pasar itu. Mereka semua super-sibuk adalah semata-mata mencari profit yang sebesar-besarnya, walaupun berakibat sangat merugikan sekian perekonomian pihak lain yang bermodal kecil.

Tatkala ideologi kapitalisme menyebar melalui politik imperialistik, di saat yang sama semakin pesat pula perkembangan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi. Dua hal yang tumbuh pesat di atas jalur yang paralel ini, menurut Alvin Toffler (1980),pada taraf perkembangannya lalu melahirkan corak peradaban dunia gelombang ketiga, yang ditandai dengan dominannya sektor informasi dan komunikasi di setiap pengambilan keputusan penting yang strategis.

Corak peradaban dunia gelombang ketiga inilah yang kemudian melahirkan arus globalisasi, dan yang terutama ter-globalisir adalah sistem kapitalisme Barat, sehingga negara-negara Komunis pun dapat diterobos dengan memasuki tatatan sistem sosialisme mereka, yang produknya adalah bubarnya negara adikuasa Uni Sovyet. Pembubaran negara Uni Sovyet itu sangat menegaskan kemenangan sistem kapitalisme Barat di tengah ketatnya arus globalisasi peradaban dunia yang sangat menghantam ideologi mereka.

Dalam konteks itu tampaklah bahwa sistem kapitalisme yang semula mulai tumbuh berkembang di negeri Inggris pada abad ke-18 Masehi semakin memperkuat penyebaran modernisasi budaya yang penetratif di seluruh pelosok dunia melalui perdagangan dan imperialisasi.

Bahkan Jurgen Habermas (1981: 20) yang dikutip dari Azyumardi Azra (1993: 5), seorang filosof sosial dari Jerman mengamati, bahwa ekspansi dan globalisasi kapitalisme tidak hanya mendorong lahirnya kehidupan yang materialistik dan hedonistik, tetapi juga semakin mengakibatkan terjadinya instruksi massif terhadap kontrol-kontrol administratif rasional ke dalam banyak sektor kehidupan. Akibatnya, rasa terancam dan kecemasan muncul di kalangan masyarakat terhadap bagian-bagian paling rawan dalam kehidupan mereka, khususnya dalam perilaku keagamaan mereka.

Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan secara spontan dan lebih diatur oleh adat istiadat, kini, gara-gara globalisasi kapitalisme, harus tunduk di bawah pengaturan-pengaturan yang rinci dan kompleks. Tentu saja tingkat kedalaman intervensi hal itu atas kehidupan sehari-hari dan pribadi dapat dirasakan secara berbeda-beda sesuai dengan posisi mereka di dalam stratifikasi sosial ekonomi masyarakat.

Dalam konteks inilah, pada hakekatnya modernisme yang "berlokomotif" globalisasi kapitalisme itu dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna dan menyejukkan batin kepada umat manusia. Yang paling disesali adalah betapa di mana-mana terjadi tindakan de-humanisasi (“penjajahan”). Yang namanya manusia sudah tergeser posisinya dan tidak lebih hanya sebagai sekrup suatu mesin raksasa dari sistem saling terkait dari ekonomi kapitalisme dunia.

B. Bangkitnya Spiritualisme Islam

Nah, ketika sekian banyak unsur masyarakat telah dimekanisasi sebagai "robot-robot" kapitalisme global, dan modernisme telah merasuk menjadi nafas-nafas budaya baru yang sangat hegemonik dan sering terkesan tak tertandingi, di lapisan-lapisan masyarakat tertentu terlihat sedang sekuat tenaga menjinakkan kegelisahan hati nuraninya untuk kembali ke dalam habitat spiritualitasnya yang paling primordialistik. Perasaan teralienasi dari bisikan kejujuran hati nuraninya sendiri seakan telah menemukan suatu momentum yang paling membahagiakan dirinya disebabkan telah berjumpa lagi dengan Dzat Sang Pencipta dirinya, yaitu Tuhan.

Dalam situasi jiwa yang transendens semacam itu, tidaklah bermakna lagi berlimpahnya harta kekayaan, sebab kebahagiaan material yang selama ini mereka rasakan hanyalah kebahagiaan yang semu. Adapun kebahagiaan hakiki, kini, bagi mereka, adalah kekayaan spiritualistik yang justru dipandang abadi.

Karena itu, kini, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, telah bertebaran digiatkannya kursus-kursus kajian sufisme Islam atau acara dzikir bersama. Apalagi memang telah banyak diaktifkan di tengah masyarakat kelompok-kelompok Tarekat, seperti Tarekat Tijaniyah, Naqsabandiyah dan Qadariyah. Satu contoh, Yayasan Tazkiyah yang dikelola oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat di Jakarta adalah forum yang mengelola aktivitas sufisme secara kognitif-intelektual, dan aplikasinya pasti akan bercorak fenomenal. Karena itu, betapa masyarakat Jakarta sekarang mulai menoleh ke aktivitas kerohanian yang asketis.

Di Amerika Serikat pun kajian-kajian sufisme dan aktivitas spiritualitasnya telah lama yang menggejala, sehingga pengarang buku Megatrends 2000, yaitu John Naisbitt dan Patricia Aburdene, berpendapat bahwa globalisasi tidak hanya menimbulkan dekadensi kemanusiaan, namun juga melahirkan kebangkitan "spiritualitas" yang amat bersifat pribadi, walaupun -kata Azyumardi Azra (1993: 7)- tidak menguat sebagai "organized religion".

Jika fenomenanya demikian, berarti salah satu solusi keluar dari problematika yang ditimbulkan oleh modernisme kapitalistik adalah mempelajari ajaran-ajaran sufisme Islam yang pada intinya memperkuat keseimbangan antara kualitas berpikir dan kualitas berdzikir. Berpikir canggih tanpa berdzikir mungkin akan melahirkan produk kreasi budaya yang kontradiktif dengan nilai-nilai agama Islam. Namun, berdzikir saja secara ultra-kontinyu, tanpa berpikir yang rasional, bisa jadi akan menghadirkan efek samping yang disebut “penyakit” apatisme sosial.

Tetapi persoalannya sekarang, mungkinkah dalam kerangka pembangkitan milieu peradaban dunia Islam, efek-efek samping dari globalisasi hanya cukup diberi solusi model gerakan sufisme Islam ?? Jawabannya tentu tidak. Sementara ciri-ciri produk globalisasi peradaban dunia itu, di samping yang positif yang berbentuk bangkitnya dunia faith (keyakinan keagamaan), kata Jalaluddin Rakhmat (1994: 71-75),juga berupa apa yang tergabung di dalam istilah 3 F, yaitu :

Pertama, ragam-ragam food ( makanan ), sekian macam makanan impor yang siap saji di depan mata kita, padahal belum tentu makanan impor itu tidak mengandung zat lemak babi. Fenomena berikutnya, makanan-makanan produk lokal yang murah dan tak kalah bergizinya menjadi tersingkir dari kompetisi pasar.

Kedua, ragam-ragam fashion (model baju terbaru), bahwa kriteria kualitas baju khususnya bagi kaum wanita, tidak lagi dari segi harga yang mahal, tetapi juga dari segi efek sensualitasnya. Semakin ketat baju yang dipakai, maka semakin ingin dipandang memiliki tubuh seksi yang mempesona. Busana "jilbab gaul" yang akhir-akhir ini mengemuka adalah busana perempuan Muslimah yang sangat dipengaruhi oleh model busana ketat dari Barat. Ini memang ironi, kepala perempuan Muslimah itu ditutup dengan kerudung, sementara bajunya ketat sehingga terkesan sedang memamerkan keindahan bentuk dadanya. Anehnya lagi, konon model-model busana "jilbab gaul" itu dirancang (didesain) oleh Hajjah-hajjah baru dari kalangan selebritis. Fenomena ini tak mendapat respons yang seimbang dari para tokoh ulama kita. Entahlah mengapa demikian…. !

Ketiga, aneka ragam fun (hiburan), yang contohnya dapat disaksikan di layar-layar televisi, dari bentuknya yang sopan sampai yang bentuknya bernuansa porno. Dari ciri yang ketiga inilah yang paling banyak menimbulkan efek negatif ke dalam wawasan berpikir para generasi muda Islam. Mentalitas kepribadian mereka sampai ada yang bercorak permisive (menganggap enteng berbuat maksiat, baik dosa-dosa besar ataupun dosa-dosa kecil). Kini, apalagi lewat teknologi handphone dan jaringan internet, betapa sajian-sajiannya kalau tidak difilter sangat mungkin menimbulkan distorsi atau dekadensi moral yang pasti memprihatinkan.

Nah, dalam spektrum tawaran pemikiran di atas, solusi yang bercorak sufisme Islam haruslah berbentuk sufisme yang ciri utamanya adalah verifikasi terhadap motif-motif moral dan penerapan metode dzikir serta moroqobah atau konsentrasi kerohanian guna mendekati Allah SWT dalam rangka meneguhkan keberimanan secara teologis, dan mengaplikasikan mutu kerohanian itu dalam mobilitas sosial budaya ekonomi tanpa harus berpandangan bahwa dimensi keduniawian adalah negatif.

Kemudian aspek lain yang semestinya melengkapi solusi sufisme Islam tersebut ialah wawasan pencerdasan kultural. Jika solusi sufisme itu dikategorikan sebagai langkah transendensi, maka pencerdasan kultural adalah kritisisme berpikir mengenai keadaan dan perkembangan budaya yang ada di lingkungan kita. Dengan pencerdasan ini kita tidak latah meniru budaya-budaya asing walaupun sangat modern. Kita akan terlatih memfilter apa pun yang dibawa oleh budaya-budaya yang berasal dari produk globalisasi peradaban dunia. Akan tetapi kita juga harus tidak eksklusif dalam menerima hal-hal yang positif dari berbagai macam budaya modern itu.

Masalahnya sekarang, bagaimana cara kita mengembangkan relasi-relasi yang bermakna antara wawasan sufisme Islam dengan segala macam budaya-budaya yang positif dari globalisasi peradaban dunia ?? Jawabannya, kata Ignas Kleden (1987: 161-166), kita bisa meminjam teori Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan asas "tri-kon" yang terdiri dari paham-paham konsentrisitas, kontinuitas dan konvergensi.

Konsentrisitas di sini dimaksudkan sebagai upaya menekankan substansi (inti) yang sentral dari perkembangan budaya yang berlangsung. Artinya, strategi kebudayaannya bertitiktolak dari grand-design tertentu yang dapat dikontrol secara efektif.

Sedangkan kontinuitas ditargetkan sebagai taktik penjabaran budaya yang tak menyebabkan situasi biased (kontradiksinya cita-cita ideal dengan usaha perwujudannya secara faktual). Artinya, antara Das Sollen strategi kebudayaan Islam bisa sinkron dengan Das Sein pada level aplikasinya.

Adapun konvergensi dalam spektrum di sini merupakan sikap budaya yang bisa berakomodasi dengan budaya-budaya lainnya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam.

Dalam konteks ini, gerakan sufisme yang berkarakter sebagai gerakan kebudayaan dapat diposisikan sebagai langkah transformatif yang tidak hanya membantu melakukan perubahan kepribadian spiritual umat Islam secara perorangan, tetapi juga dapat merubah kondiri struktur sosial budaya ekonomi mereka tatkala mereka tidak berdaya berhadapan dengan supra-struktur kekuasaan.

Transformasi di sini -meminjam istilah A. Naufal Ramzy (1993: 163-178)- memang berhadapan dengan kuatnya penetrasi arus globalisasi peradaban dunia. Akan tetapi ketika transformasi ini di-back up oleh solusi sufisme Islam, besar kemungkinan di dalamnya tidak akan terjadi erosi makna yang kontaminatif.

Secara universal, tawaran pemikiran di atas ingin menyeimbangkan keharusan kita dalam menggiatkan aktivitas ijtihad pemikiran yang secara paralel juga serius memasuki dunia sufisme Islam secara intens sesuai dengan substansi ayat 190 dan 191 Al-Qur an S. Ali 'Imran, bahwa di tangan kreasi Ulul Albab-lah pencanangan paradigma keislaman mampu dikonseptualisasi, yang kemudian dapat direalisasikan secara massif justru tatkala "jaring-jaring" globalisasi peradaban dunia semakin gencar memasuki rumah-rumah tangga kaum Muslimin.

Itulah yang diidealisasikan sebagai responsi paradigmatis keislaman atas persaingan kultural yang lintas nilai-nilai. Klimaksnya, tawaran pemikiran di atas meniscayakan kecerdasan dan kesadaran baru, bahwa spiritualisme Islam harus diaktifkan dan digerakkan.

Masalah yang terkadang menghambat usaha mengaplikasikan tawaran tersebut adalah terlalu kuatnya kultur paternalistik umat Islam, sehingga elite-elite pemimpin mereka yang berposisi sebagai patron sering sangat keberatan melakukan perubahan mental. Sebab masih ada kecemasan bahwa mereka nantinya tidak lagi memiliki power yang “menguntungkan” bagi mereka, baik itu keuntungan psikologis, maupun keuntungan materi (finansial).

Jika umat Islam secara merata memperoleh pencerahan berpikir atau kecerdasan sufistik memang akan memunculkan fenomena baru yang berbentuk tumbuhnya kemandirian (independensi) beragama. Artinya, mereka tidak lagi perlu terlibat secara tidak langsung (atau langsung) dalam tindakan “kultus” kepada para elite pemimpinnya. Sebab mereka telah mampu mencari dan menemukan dalil-dalilnya di dalam nash Al- Qur an dan As-Sunnah tentang negatifnya “kultus” itu.

Namun segera atau lambat, sebesar apa pun hambatan seperti yang disinggung di atas itu terjadi, dengan semakin banyaknya anak-anak muda Islam yang memasuki pendidikan perguruan tinggi, dimungkinkan tradisi “kultus” terhadap siapa pun atau apa pun akan berkurang dan habis sama sekali. Sehingga yang biasa “dienakkan” dengan kultur paternalistik, suatu hari nanti akan melihat kenyataan bahwa ajaran Islam yang berdimensi sufistik-teologis memang suatu kebenaran substansial yang berefek domino mengeleminir segala bentuk “kultus”. Sebab “kultus” memang bertentangan dengan konsep monotheisme (tauhid) Islam.

Wallahu A'lam bish-Shawab !

(*) Penulis adalah Dosen Filsafat Ilmu FIA Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan (1997-Kini). Makalah telah didiskusikan dalam Forum Diskusi Ramadhanan 1428 H BEM Fakultas Ilmu Administrasi UNIVERSITAS MADURA (UNIRA) PAMEKASAN
Jl. Raya Panglegur KM 3,5 Kota Pamekasan, pada Senin Legi, 19 Ramadhan 1428 / 01 Oktober 2007.

Referensi Makalah:
1.Harvey Cox, The Secular City: Urbanization and Secularization in Theological (New York: Macmillan, 1965).

2.Samuel Huntington, "The Change to Change : Modernization, Development, and Politics", dalam Cyril E.Black (Editor), Comparative Modernization : A Render (New York : The Free Press, 1976).

3.William Ebenstein & Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa Ini (Jakarta: Penerbit Erlangga,1987),Cetakan Ke-09.

4.Alvin Toffler, The Third Wave (New York : William Morrow & Company, 1980). Gelombang Peradaban I (SM – 1790), Gelombang Peradaban II (1790 – 1900), dan Gelombang Peradaban III (1900 – Zaman Kekinian, dst). Gelombang III ini yang menyuguhkan "revolusi" teknologi informasi-komunikasi.

5.Jurgen Habermas, "The Dialectics of Rationalization : An Interview", Telos, St.Louis (Missouri : Sociology Department, Washington University, 1981).Dikutip dari Azyumardi Azra, "Neo-Sufisme dan Masa Depan Islam" (Jakarta: Diskusi Serial Yayasan Wakaf Paramadina, 1993) KKA Seri ke-71 Tahun VII/1993.

6.Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual : Refleksi Sosial Seorang Cende-kiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1994),Cetakan ke-07.

7.Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,(Jakarta: LP3ES, 1987),Agustus,Cetakan ke-1.

8.A, Naufal Ramzy, "Masa Depan Islam : Ke Arah Gerakan Kebudayaan", dalam A. Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: Penerbit Deviri Ganan, 1993), Cetakan ke-1.
FUNGSI AL-QUR'AN DALAM PERUBAHAN SOSIAL
MENUJU MASYARAKAT MADANI

Oleh A. Naufal Ramzy

A. Pendahuluan

Mencermati fenomena perkembangan umat Islam dewasa ini terdapat dua hipotesa (kesimpulan sementara) yang justru bertolakbelakang. Di satu sisi, umat Islam sibuk membangun dan merenovasi bangunan masjid secara lebih megah dan juga kian banyak yang menunaikan ibadah haji untuk yang keduakalinya. Namun di sisi lain, sekian banyak umat Islam sibuk menjadi pelaku rentenir, pelaku korupsi, pengadu-domba, pemfitnah dan sekian macam perbuatan maksiat lainnya seperti menipu,berzina dan pengguna narkoba. Dua fenomena ini mencuatkan satu pertanyaan klasik: “Ada something wrong apakah di tengah umat Islam sehingga peradaban mereka semakin terpuruk?”

Hal tersebut berdasar pengamatan oleh pihak internal umat Islam sendiri karena begitu kecewa dan cemasnya melihat fakta-fakta kontradiktif mereka. Akan tetapi di kalangan eksternal umat Islam beredar suatu persepsi bahwa sangatlah sulit memurtadkan umat Islam untuk pindah ke agama lain oleh karena sejak 10 tahun yang lalu tumbuh gairah yang kuat untuk mendirikan lembaga TK Al-Qur'an hingga ke pelosok pedesaan. Penyebaran dirintisnya TK Al-Qur'an memberikan efek domino yang sangat fungsional terhadap kehidupan umat Islam, bahwa sebagai penganut agama Islam tidak sepantasnya mereka tidak mengenal dan tidak memahami kitab suci agamanya dari sejak usia dini.

Oleh karena itu, menyikapi fenomena banyaknya umat Islam yang semakin rajin berbuat maksiat, tidak sepantasnya terlalu pesimistik menatap masa depan peradaban mereka. Sebab sekian banyak anak-anak, putera-puteri mereka, sudah mengenal teks-teks Al-Qur'an sejak mereka berumur 4 tahun. Apalagi di tengah umat Islam kini juga tumbuh gairah merintis TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) setingkat MI / SD dan MTA (Ma’had Tahfidh Al-Qur an) setingkat SMP dan SMU. Misalnya program Tahfidh al-Qur'an yang sejak 10 tahun yang lalu diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura pada tingkat SMP, SMU dan MAK.

Nah, cukupkah kitab suci Al-Qur'an al-Karim hanya dibaca, dihafalkan, dan dipahami maknanya ? Bukankah jika tak diamalkan tentu tidak akan berfungsi maksimal bagi perubahan dan pengembangan kehidupan masyarakat ?

B. Prinsip-prinsip Kandungan Al-Qur'an

Secara bahasa, Kata Al-Qur an berarti bacaan yang sempurna, kitab suci yang sangat lengkap, dan merupakan miniatur “ayat-ayat Allah” yang terhampar dari seluruh fakta Kemahabesaran-Nya yang bersifat mukjizati. Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Al-Qur'an ini, bukanlah sekedar menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia,namun juga bisa menjadi mitra dialog (teman curhat) dalam menyikapi aneka ragam problematika kehidupan.

Seluruh ayat Al-Qur'an yang berjumlah 6236 ayat, menurut M. Natsir Arsyad (1996: 13),terbagi menjadi lima prinsip kandungan keislaman:

Pertama, aqidah tauhid yang menegaskan bahwa Allah SWT adalah Maha Esa dan tidak ada tuhan apa pun kecuali Dia. Demikian juga, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah rasul dan utusan-Nya yang terakhir. Rukun Iman yang enam juga termasuk dalam prinsip yang pertama ini.

Kedua, syari’at yang terdiri atas ibadah mahdhah (murni) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dan ibadah mu’amalah (ibadah sosial) yang mengatur hubungan timbal balik antar sesama manusia, seperti transaksi bisnis, akad nikah,persaksian,termasuk juga hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya dan alam lingkungan ekologis.

Ketiga, akhlak yang mulia, yang menyucikan perilaku dari perbuatan tercela, membersihkan jiwa dari kepamrihan, dan mengajak hati nurani untuk mencapai kebahagiaan di mata Allah.

Keempat, kisah-kisah masa lalu untuk ditarik pelajaran darinya, sebagai peringatan, perbandingan, keteladanan dan perumpamaan yang bernilai sehingga umat manusia bisa lebih bijak (‘arif) merespon setiap problema hidup. Misalnya kisah Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman, Nabi Yunus, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Muhammad SAW dan lainnya.

Kelima, berita-berita masa depan dan pasca masa depan serta bentuk-bentuk ilmu pengetahuan modern. Seperti teori kejadian alam semesta, posisi matahari, bumi, proses kehidupan makhluk yang berpasang-pasangan dan lainnya.

Kelima macam prinsip itu disederhanakan lagi menjadi 3 (tiga) pilar (dimensi) doktrinal agama Islam yaitu: Dimensi Aqidah, Dimensi Syari’ah, dan Dimensi Akhlak. Umat Islam diatur untuk mengamalkan ketiga dimensi ini sepanjang hidup, dari mulai bangun tidur hingga tengah malam mau tidur kembali.

Maka jika kembali kepada pertanyaan tadi: “Ada something wrong apakah di tengah umat Islam sehingga peradaban mereka semakin terpuruk?” Jawabannya: Mungkin sebagian besar dari mereka tidak secara simultan mengamalkan ketiga dimensi ajaran Islam tersebut, yakni bermoralitas ganda, kata Sudirman Tebba (1993: 68-75). Mereka telah rajin shalat dan bergelar haji, tetapi dalam berekonomi mereka tega menggunakan cara-cara penipuan dan model yang haram lainnya. Mengapa demikian, karena bisa jadi keislaman mereka hanyalah Islam kultural yang berbasis pada adat-istiadat, bukan Islam yang spiritualistik yang berbasis pada kesadaran teologis (bertauhid) secara pribadi. Mereka berislam secara asesoris yang menempatkan Allah tidak di puncak wawasan berpikirnya. Allah tidak penting bagi mereka. Yang terpenting bagi mereka bagaimana meraih uang yang sebanyak-banyaknya untuk memuaskan naluri hawa nafsu mereka. Tanpa sadar, menurut istilah Kuntowijoyo (1997: 173), mereka telah memegang dan mengamalkan paham (ideologi) materialisme yang hedonistik.

C. Al-Qur'an Sebagai Paradigma Perubahan Sosial

Jika sebagian banyak umat Islam telah tanpa segan lagi mengamalkan paham materialisme, masihkah kondisi semacam itu diperbaiki dan ditemukan solusinya yang terbaik ?

Tentu harus menjawab masih ! Sebab umat Islam masih bermodal besar yang berupa kitab suci Al-Qur'an. Perubahan so- sial umat Islam masih bisa dilakukan secara prospektif apabila mereka mau menyadari tentang pentingnya “Kembali kepada Al-Qur'an”. Dengan sikap ini, otomatis juga akan amat memper- hatikan seluruh sabda, sikap dan tradisi Nabi Muhammad SAW. Dengan Al-Qur'an sebagai basis rujukan perilaku hidup, maka dijamin oleh Allah bahwa mereka akan terangkis dari kegelapan atau kegelisahan hidup yang terus-menerus. Firman-Nya:(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Al-Qur an S. Ibrahim : 1).

Dalam petikan ayat di atas terdapat 3 kata kunci yang menentukan perbaikan hidup umat manusia. Pertama, umat manusia pasti membutuhkan “cahaya terang benderang” dalam kehidupannya, dan tidak mungkin mereka menyukai suasana hidup yang “gelap gulita”. Kedua, Al-Qur'an dapat di-efektif-kan dengan cara dibaca, didalami maknanya dan diamalkan ajarannya, agar supaya diperoleh jalan lurus untuk memperoleh hidayah Allah. Ketiga,usaha meng-efektif-kan ajaran Al-Qur an dalam kehidupan sehari-hari juga sangat ditentukan oleh izin (hak prerogatif) dari Allah, yakni pertolongan-Nya, sebab tanpa ini semua sia-sia.

Maka tatkala seseorang mengalami kebangkrutan dalam sistem kehidupannya, baik bangkrut secara finansial maupun secara spiritual, ia tidak sepantasnya lari dari kenyataan dan kemudian “berfatamorgana” dalam bentuk doyan mengkonsumsi miras atau narkoba (sabu-sabu & sejenisnya), maupun menjadi aktivis judi. Ia sebaiknya melakukan langkah-langkah strategis berikut:

Pertama, berkonsultasi (curhat) pada seorang guru (figur) spiritual yang berakhlak luhur / bermoral tinggi di mana segenap perilakunya patut diteladani karena bercorak konsisten antara ucapan dan amal salehnya sehari-hari.

Kedua, memperbaiki kualitas shalat fardhu dan shalat sunnahnya. Sebab dengan shalat yang bermutu maka seseorang dapat terhindar dari perbuatan jahat (jahat pada diri sendiri atau para orang lain), yang menurut Hamka (1982: 71-80) adalah ibadah shalat yang ikhlas sepenuh hati.

Ketiga, membaca Al-Qur an secara rutin (istiqamah) setiap hari, dan usahakan dipahami dengan maknanya. Sebab jika setiap umat Islam bertemu dengan sederetan redaksi ayat Al-Qur'an maka sesungguhnya mereka bertemu dengan Allah melalui ungkapan firman-Nya. Jika ungkapan ayat Al-Qur'an itu melintas atau diam sejenak di dalam hati nurani dan akal pikiran mereka, Insya Allah akan muncul rasa malu dan rasa berhutang budi kepada Allah atas segala nikmat-nikmat-Nya yang selalu mereka terima dan rasakan setiap waktu. Artinya,andaikan bukan karena pertolongan dan rahmat Allah, tadi malam ketika mereka berangkat tidur, pagi harinya mereka tidak akan bangun kembali yakni tidur selamanya (wafat). Nah, semakin kuat rasa berhutang budi kepada Allah terpatri di dalam jiwa dan wawasan berpikir umat Islam, maka akan kian menguat pula kualitas spiritualistik mereka, sehingga mereka akan rajin beramal shaleh, baik yang personal atau sosial.

Keempat, menambah dan memperluas wawasan berpikir dengan rajin membaca buku ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum. Aktif di bidang pendidikan akan membantu prosesnya hal yang satu ini, baik posisinya sebagai guru / pendidik maupun sebagai pelajar / mahasiswa. Semakin luas wawasan berpikir umat Islam, maka akan semakin mampu berdialog dengan Al-Qur'an, sebab -kata Umar Shihab (1990: 79), salah satu karakter Al-Qur'an adalah siap berdialog dengan seluruh umat manusia, seperti yang tertuang dalam ayat ini:”Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Al-Qur'an S. Shaad: 29).

D. Menuju Terbentuknya Masyarakat Madani

Masyarakat madani -kata M. Dawam Rahardjo (1999: 282)- adalah masyarakat yang penuh kedamaian karena di dalam sistem sosio-kultur-politik-nya telah terbingkai suatu keadilan sosial,kesederajatan, kebebasan berpikir, demokratisasi dan perlindungan HAM. Mungkinkah umat Islam membangun masyarakat madani dalam zaman yang kian kompetitif dan modern ini ? Tentu perlu dijawab: Mungkin dan bisa !

Kunci ke arah sana sederhana, yaitu perubahan sosial yang komprehensif. Dalam arti lain, perubahan yang digerakkan oleh animo kerja keras dan konstan berdoa kepada Allah SWT. Sedangkan kerja keras membutuhkan kecerdasan berpikir dalam mengambil kebijakan publik / personal. Sementara kecer-dasan berpikir mensyaratkan dimilikinya software metodologi berpikir agar supaya valid dalam mengambil kesimpulan.

Karena itu, umat Islam harus memahami secara filosofis firman Allah SWT berikut ini (Al-Qur'an S.Al-Ra’du : 11): “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah [Malaikat Hafadhah]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [situasi yang mundur terpuruk] yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

(*) Makalah ini telah didiskusikan dalam Forum LKIM (Lembaga Kajian Islam Mujahidin) di rumah Bapak Drs. Moh. Yusuf Suhartono (Kadis Diknas Pemda Kabupaten Pamekasan Madura), Pamekasan, Senin, 18 Jumadilawal 1428 / 04 Juni 2007,Pukul 19.00 - selesai.

Referensi Makalah :

1.M. Natsir Arsyad, Seputar Al-Quran Hadis & Ilmu (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1996), Cet. ke-4.

2.Dewan Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur an, Al-Qur an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989).

3.Sudirman Tebba, “Moralitas Ganda Umat dan Pemikiran Islam”, dalam A.Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), Cet. ke-1.

4.Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cet. ke-2.

5.Hamka, Iman dan Amal Shaleh (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Cet. ke-1.

6.H. Umar Shihab, Al-Qur an dan Rekayasa Sosial (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), Cet. ke-1.

7.M. Dawam Rahardjo, “Pembangunan Orde Baru dan Masyarakat Madani”, dalam TIM Maula (Editor), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. ke-1.

Rabu, Oktober 03, 2007

Politik Kader

PROSPEK POLITIK REFORMATIF INDONESIA:
DARI KADER MENJADI TOKOH

Oleh A. Naufal Ramzy


I. Pendahuluan

Tatkala bangsa Indonesia mengalami pergantian rezim pemerintahan pada 21 Mei 1998, dari rezim Orde Baru ke rezim Orde Reformasi, terlalu banyak harapan-harapan idealistik yang dicanangkan oleh bangsa ini. Sepertinya bangsa ini akan keluar dari sekeranjang problematika politik dan ketidak-adilan ekonomi menuju gerbang baru bertitel “negeri yang adil dan makmur”.
Tetapi apa yang terjadi ? Kebebasan yang diperoleh sebagai “hasil” pergantian rezim diberi interpretasi bermacam- macam dan amat diprioritaskan ketimbang memperbaiki kondisi ekonomi rakyat banyak yang bergelimang kemiskinan. Aneka interpretasi atas term kebebasan itu sampai berubah menjadi polusi baru (kata Harry Roesli). Seloroh Harry Roesli (2005 : 52, 53) begini:

“Apa yang dilakukan oleh parlemen juga sebuah polusi dari kebebasan. Yaitu, mereka dengan sangat bebas berlindung di balik nama rakyat dan dengan sebebas-bebasnya meng-atas-namakan rakyat, untuk pembenaran menjadi kaum otoriter baru. Benar-benar bebas dan bebas.” “Dan apakah rakyat juga merasakan kebebasan ini ? O, ya, pasti ! Paling tidak, rakyat terbebas dari perhatian Gus Dur dan parlemen (yang notabene wajib mengurusnya). Keterbe-basan yang satu ini dalam bahasa ilmiahnya ialah..... dicuekin !! Atau tepatnya, Gus Dur dan parlemen bebas untuk mencuekin rakyat!” “Mungkin republik ini sudah menjadi Republik Cuek, alias Republik Funky !! Setelah sempat di zaman Soeharto berganti nama menjadi Republik Daripada Indonesia.”

Mengapa kondisi semacam itu terjadi ? Salah satu sebabnya, kata Harry Roesli, karena menjadi anggota legislatif tidak dipandang sebagai jabatan politik mewakili rakyat, namun dipahami sebagai jabatan profesional alias mencari penghasilan. Karenanya, kata Harry Roesli (2005: 219), nama DPR / DPRD itu mestinya dirubah menjadi PT/CV DPR atau PT/CV DPRD.

Nah, jika pada tahun 2007 ini bangsa Indonesia masih mempunyai sekian banyak tipe anggota legislatif semacam itu, yang diantaranya juga karena mereka “kader jenggot” alias hanya mengakar ke atas (elite pimpinan partai), yakni tidak mengakar ke bawah (rakyat yang mesti diwakilinya), maka letak “something wrong”-nya diduga kuat adalah berpusat pada soal ideologi partai dan para elite pimpinannya. Mestinya, kata Umaruddin Masdar (1999: 29),ideologi itu dipahami sebagai seperangkat konsep gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dipandang paling baik.Dalam perspektif itu, betapa amat urgen adanya partai politik yang visi-misinya berkonotasi ideologis semacam itu, dan tentu juga dipimpin oleh para elite yang ber-akhlaqul karimah.

II. Konsep Kaderisasi Partai Politik

Term kaderisasi sangat dekat dengan makna pembibitan calon seorang pemimpin (tokoh). Namun kaderisasi di dalam organisasi massa tentu sangat berbeda dengan kaderisasi di dalam partai politik. Hal ini karena sering dipengaruhi oleh performance kelembagaannya, apakah masih bercorak paguyuban atau bercorak patembayan. Organisasi massa yang bercorak paguyuban biasanya dikelola oleh seorang pemimpin yang kharismatik yang berbasis pada faktor “darah biru” (keturunan). Memang ada organisasi massa yang bercorak patembayan, tetapi masih sangat sedikit. Adapun partai politik yang bercorak patembayan selalu diketuai oleh pemimpin yang intelektual-demokratis (legal-rasional) yang berbasis pada faktor kualitas SDM-nya, baik dari aspek akhlaqul karimah maupun aspek intelektualnya. Jika ternyata ada partai politik yang cenderung bercorak paguyuban, maka diduga kuat di dalamnya selalu terjadi konflik yang akut.

Konsep kaderisasi partai politik yang hendak ditawarkan dalam makalah ini adalah konsep yang mengidealisasikan corak kepemimpinan yang intelektual-demokratis (legal-rasional). Corak kepemimpinan semacam ini yang dibutuhkan oleh masa depan bangsa Indonesia, yang tentu proses pentradisiannya mestinya dimulai dari sejak memasuki zaman reformasi kemarin. Atas hal ini Kuntowijoyo (1997: 187) berpendapat:“Kepemimpinan kharismatik itu tidak baik untuk masa depan Indonesia. Mestinya kita meninggalkan kepemimpinan kharismatik menuju ke kepemimpinan legal-rasional, kepemim- pinan rasional yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan wibawa perorangan. Kita tidak boleh memberi jawaban masa lalu untuk persoalan masa kini. Kepemimpinan politik kharismatik itu ketinggalan zaman, tidak stabil untuk jangka panjang.”

Konsep kaderisasi yang dimaksud di atas mengacu kepada tiga prinsip pembinaan, yaitu: Pembinaan kapasitas keilmuan, pembinaan mentalitas keberislaman, dan pembinaan kreativitas amal saleh sosial.

A. Pembinaan Kapasitas Keilmuan

Pembinaan kapasitas keilmuan terhadap kader-kader partai politik mencakup pemberdayaan akal pikir dan akal budi mereka dalam memahami beberapa teori atau konsep penting yang mesti dijadikan nilai dasar perjuangan, yaitu:

Pertama, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah bagian dari jihad fi sabilillah atau kerja keras untuk menegak- kan nilai-nilai atau ajaran agama Islam di muka bumi. Term jihad yang di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 41 kali dengan berbagai bentuknya, menurut M. Quraish Shihab (1996: 501), terambil dari kata jahd yang berarti letih atau sukar dan dari kata juhd yang berarti kemampuan. Karenanya term jihad identik dengan kegiatan yang meletihkan tetapi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Makna jihad di sini bisa dikonfirmasikan pada Al-Qur’an S. Ali ‘Imran: 142 yang artinya : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”.

Dengan kesadaran semacam itu harus pula diyakini bahwa siapa pun umat Islam, apalagi kader partai, yang berjihad di jalan Allah (mematuhi Al-Qur’an dan As-Sunnah) maka Allah akan selalu memberikan petunjuk kepadanya. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an S. Al-Ankabut: 69 yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Betapa urgennya berjihad ! Tentu, berjihad di sektor politik juga dapat mempermutu ketakwaan seorang muslim. Soal ini dapat disimak dalam Al-Qur’an S. Al-Maidah: 35 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Kedua, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah dalam rangka memperjuangkan terbentuknya pemerintahan yang baik. Apakah itu ? Pemerintahan yang baik, kata Umaruddin Masdar (1999: 134), ialah sekumpulan prinsip dan gagasan tentang keabsahan (legiti- masi), kewenangan (kompetensi) dan pertanggungjawaban (accountability) dari pemerintah, tentang penghormatan terhadap kewibawaan (supremasi) hukum dan perangkatnya dan hak asasi manusia, serta berbagai hal lainnya yang diharapkan oleh rakyat dari pemerintah yang melayani kepentingan khalayak.

Ketiga, bahwa beraktivitas di sektor politik sangat membutuhkan etos belajar atau semangat membaca yang tinggi, agar supaya tidak tertinggal dalam mengakses informasi baru perihal poleksosbudhankam atau supaya tidak telmi (telat mikir) dalam memahami teori-teori baru keilmuan.

B. Pembinaan Mentalitas Keberislaman

Pembinaan mentalitas keberislaman buat kader-kader partai adalah pembiasaan ber-akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menghindari segala sikap dan perbuatan yang melanggar ajaran agama Islam atau melanggar hukum-hukum positif nasional. Hal ini meliputi :

Pertama, meneladani seluruh sifat akhlaqul karimah Rasulullah SAW, minimal mencerna dan meniru 4 sifat beliau yaitu shidiq, amanah, tabligh, fathanah. Beliau sangat terkenal sebagai pemimpin yang membangkitkan harga diri rakyat kecil (dhu’afa) dan kaum fakir miskin. Beliau pun amat perduli membela kaum yang tertindas (mustadh’afin). Hal ini beliau buktikan dalam sepanjang kehidupannya yang penuh dengan pola hidup sangat bersahaja dan sangat dekat dengan orang-orang miskin.
Tentang kebersahajaan Rasulullah SAW bisa disimak dalam tulisan Jalaluddin Rakhmat (1995: 83) berikut: “Ia tidur di atas tikar kasar yang dianyamnya dengan tangan sendiri, dan sering tampak pada pipinya bekas-bekas tikar itu. Umar (bin Khathab) pernah meneteskan airmata karena terharu melihat rumah Rasulullah hanya dilengkapi dengan ghariba (wadah air dari kulit) dan roti yang sudah menghitam. Ia memilih hidup sederhana, bukan karena ia mengharamkan yang halal, melainkan karena ingin merasa dekat dengan mereka yang paling miskin. Dia, sebagai pemimpin, tak ingin membuat jarak dengan mereka.”

Kedua, membiasakan diri menggunakan suara hati nurani dalam meresponsi masalah-masalah rakyat. Sebab yang harus dipatuhi bukan hanya hukum-hukum positif formal yang tertulis, tetapi juga “hukum-hukum” kebaikan yang berbasis pada kebenaran versi hati nurani.

C. Pembinaan Kreativitas Amal Saleh Sosial

Pembinaan yang terakhir ini identik dengan kerja nyata dalam berjuang membela rakyat yang dirugikan oleh sistem sosial budaya ekonomi yang dilaksanakan oleh negara. Misalnya, kemiskinan struktural yang mulai melebar memasuki kawasan pedesaan semestinya diprioritaskan untuk dibela dan dientaskan. Contoh, ketidakberdayaan para petani tembakau di Madura untuk menentukan harga jualnya tatkala berhadapan dengan kepentingan pabrik rokok, seharusnya mereka diadvokasi oleh para anggota DPRD, bukan dibiarkan mereka selalu diperlemah oleh pihak pabrik.Contoh yang lain, mengapa kreativitas aparat Pemda dan DPRD Sumenep dalam hal pemberdayaan zakat mal dan pembentukan BAZ tingkat kabupaten selalu sulit dilakukan dan disepakati oleh para elite pemimpin kawasan ini, termasuk sulit didukung penuh oleh para kyai ? Mengapa kalau BAZ di kabupaten Pamekasan bisa dan cukup sukses sehingga nilainya kini mendekati angka 1 miliyar ? Mengapa? Jawabannya tidak terlalu sulit ditemukan walau hanya masih bercorak hipotetif. Begitu kira-kira dan mohon ma’af ! Wallahu A’lam bi al-Shawab.

(*) Penulis adalah Pengamat Freelance. Makalah ini telah didiskusikan dalam Acara Madrasah Politik Ramadhan 1428 di Sekretariat DPD PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Kab.Sumenep pada Ahad Pon, 18 Ramadhan 1428 H / 30 September 2007 M.

Referensi :
1. Harry Roesli, Republik Funky: Asal Usul Harry Roesli (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2005), Cetakan ke-1.
2. Umaruddin Masdar, Dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik
(Yogyakarta: LKIS, 1999), Cetakan ke-1.
3. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cetakan ke-2.
4. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-3.
5. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan,
1995), Cetakan ke-7.

Politik Kader

PROSPEK POLITIK REFORMATIF INDONESIA:
DARI KADER MENJADI TOKOH

Oleh A. Naufal Ramzy


I. Pendahuluan

Tatkala bangsa Indonesia mengalami pergantian rezim pemerintahan pada 21 Mei 1998, dari rezim Orde Baru ke rezim Orde Reformasi, terlalu banyak harapan-harapan idealistik yang dicanangkan oleh bangsa ini. Sepertinya bangsa ini akan keluar dari sekeranjang problematika politik dan ketidak-adilan ekonomi menuju gerbang baru bertitel “negeri yang adil dan makmur”.
Tetapi apa yang terjadi ? Kebebasan yang diperoleh sebagai “hasil” pergantian rezim diberi interpretasi bermacam- macam dan amat diprioritaskan ketimbang memperbaiki kondisi ekonomi rakyat banyak yang bergelimang kemiskinan. Aneka interpretasi atas term kebebasan itu sampai berubah menjadi polusi baru (kata Harry Roesli). Seloroh Harry Roesli (2005 : 52, 53) begini:

“Apa yang dilakukan oleh parlemen juga sebuah polusi dari kebebasan. Yaitu, mereka dengan sangat bebas berlindung di balik nama rakyat dan dengan sebebas-bebasnya meng-atas-namakan rakyat, untuk pembenaran menjadi kaum otoriter baru. Benar-benar bebas dan bebas.” “Dan apakah rakyat juga merasakan kebebasan ini ? O, ya, pasti ! Paling tidak, rakyat terbebas dari perhatian Gus Dur dan parlemen (yang notabene wajib mengurusnya). Keterbe-basan yang satu ini dalam bahasa ilmiahnya ialah..... dicuekin !! Atau tepatnya, Gus Dur dan parlemen bebas untuk mencuekin rakyat!” “Mungkin republik ini sudah menjadi Republik Cuek, alias Republik Funky !! Setelah sempat di zaman Soeharto berganti nama menjadi Republik Daripada Indonesia.”

Mengapa kondisi semacam itu terjadi ? Salah satu sebabnya, kata Harry Roesli, karena menjadi anggota legislatif tidak dipandang sebagai jabatan politik mewakili rakyat, namun dipahami sebagai jabatan profesional alias mencari penghasilan. Karenanya, kata Harry Roesli (2005: 219), nama DPR / DPRD itu mestinya dirubah menjadi PT/CV DPR atau PT/CV DPRD.

Nah, jika pada tahun 2007 ini bangsa Indonesia masih mempunyai sekian banyak tipe anggota legislatif semacam itu, yang diantaranya juga karena mereka “kader jenggot” alias hanya mengakar ke atas (elite pimpinan partai), yakni tidak mengakar ke bawah (rakyat yang mesti diwakilinya), maka letak “something wrong”-nya diduga kuat adalah berpusat pada soal ideologi partai dan para elite pimpinannya. Mestinya, kata Umaruddin Masdar (1999: 29),ideologi itu dipahami sebagai seperangkat konsep gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dipandang paling baik.Dalam perspektif itu, betapa amat urgen adanya partai politik yang visi-misinya berkonotasi ideologis semacam itu, dan tentu juga dipimpin oleh para elite yang ber-akhlaqul karimah.

II. Konsep Kaderisasi Partai Politik

Term kaderisasi sangat dekat dengan makna pembibitan calon seorang pemimpin (tokoh). Namun kaderisasi di dalam organisasi massa tentu sangat berbeda dengan kaderisasi di dalam partai politik. Hal ini karena sering dipengaruhi oleh performance kelembagaannya, apakah masih bercorak paguyuban atau bercorak patembayan. Organisasi massa yang bercorak paguyuban biasanya dikelola oleh seorang pemimpin yang kharismatik yang berbasis pada faktor “darah biru” (keturunan). Memang ada organisasi massa yang bercorak patembayan, tetapi masih sangat sedikit. Adapun partai politik yang bercorak patembayan selalu diketuai oleh pemimpin yang intelektual-demokratis (legal-rasional) yang berbasis pada faktor kualitas SDM-nya, baik dari aspek akhlaqul karimah maupun aspek intelektualnya. Jika ternyata ada partai politik yang cenderung bercorak paguyuban, maka diduga kuat di dalamnya selalu terjadi konflik yang akut.

Konsep kaderisasi partai politik yang hendak ditawarkan dalam makalah ini adalah konsep yang mengidealisasikan corak kepemimpinan yang intelektual-demokratis (legal-rasional). Corak kepemimpinan semacam ini yang dibutuhkan oleh masa depan bangsa Indonesia, yang tentu proses pentradisiannya mestinya dimulai dari sejak memasuki zaman reformasi kemarin. Atas hal ini Kuntowijoyo (1997: 187) berpendapat:“Kepemimpinan kharismatik itu tidak baik untuk masa depan Indonesia. Mestinya kita meninggalkan kepemimpinan kharismatik menuju ke kepemimpinan legal-rasional, kepemim- pinan rasional yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan wibawa perorangan. Kita tidak boleh memberi jawaban masa lalu untuk persoalan masa kini. Kepemimpinan politik kharismatik itu ketinggalan zaman, tidak stabil untuk jangka panjang.”

Konsep kaderisasi yang dimaksud di atas mengacu kepada tiga prinsip pembinaan, yaitu: Pembinaan kapasitas keilmuan, pembinaan mentalitas keberislaman, dan pembinaan kreativitas amal saleh sosial.

A. Pembinaan Kapasitas Keilmuan

Pembinaan kapasitas keilmuan terhadap kader-kader partai politik mencakup pemberdayaan akal pikir dan akal budi mereka dalam memahami beberapa teori atau konsep penting yang mesti dijadikan nilai dasar perjuangan, yaitu:

Pertama, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah bagian dari jihad fi sabilillah atau kerja keras untuk menegak- kan nilai-nilai atau ajaran agama Islam di muka bumi. Term jihad yang di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 41 kali dengan berbagai bentuknya, menurut M. Quraish Shihab (1996: 501), terambil dari kata jahd yang berarti letih atau sukar dan dari kata juhd yang berarti kemampuan. Karenanya term jihad identik dengan kegiatan yang meletihkan tetapi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Makna jihad di sini bisa dikonfirmasikan pada Al-Qur’an S. Ali ‘Imran: 142 yang artinya : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”.

Dengan kesadaran semacam itu harus pula diyakini bahwa siapa pun umat Islam, apalagi kader partai, yang berjihad di jalan Allah (mematuhi Al-Qur’an dan As-Sunnah) maka Allah akan selalu memberikan petunjuk kepadanya. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an S. Al-Ankabut: 69 yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Betapa urgennya berjihad ! Tentu, berjihad di sektor politik juga dapat mempermutu ketakwaan seorang muslim. Soal ini dapat disimak dalam Al-Qur’an S. Al-Maidah: 35 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Kedua, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah dalam rangka memperjuangkan terbentuknya pemerintahan yang baik. Apakah itu ? Pemerintahan yang baik, kata Umaruddin Masdar (1999: 134), ialah sekumpulan prinsip dan gagasan tentang keabsahan (legiti- masi), kewenangan (kompetensi) dan pertanggungjawaban (accountability) dari pemerintah, tentang penghormatan terhadap kewibawaan (supremasi) hukum dan perangkatnya dan hak asasi manusia, serta berbagai hal lainnya yang diharapkan oleh rakyat dari pemerintah yang melayani kepentingan khalayak.

Ketiga, bahwa beraktivitas di sektor politik sangat membutuhkan etos belajar atau semangat membaca yang tinggi, agar supaya tidak tertinggal dalam mengakses informasi baru perihal poleksosbudhankam atau supaya tidak telmi (telat mikir) dalam memahami teori-teori baru keilmuan.

B. Pembinaan Mentalitas Keberislaman

Pembinaan mentalitas keberislaman buat kader-kader partai adalah pembiasaan ber-akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menghindari segala sikap dan perbuatan yang melanggar ajaran agama Islam atau melanggar hukum-hukum positif nasional. Hal ini meliputi :

Pertama, meneladani seluruh sifat akhlaqul karimah Rasulullah SAW, minimal mencerna dan meniru 4 sifat beliau yaitu shidiq, amanah, tabligh, fathanah. Beliau sangat terkenal sebagai pemimpin yang membangkitkan harga diri rakyat kecil (dhu’afa) dan kaum fakir miskin. Beliau pun amat perduli membela kaum yang tertindas (mustadh’afin). Hal ini beliau buktikan dalam sepanjang kehidupannya yang penuh dengan pola hidup sangat bersahaja dan sangat dekat dengan orang-orang miskin.
Tentang kebersahajaan Rasulullah SAW bisa disimak dalam tulisan Jalaluddin Rakhmat (1995: 83) berikut: “Ia tidur di atas tikar kasar yang dianyamnya dengan tangan sendiri, dan sering tampak pada pipinya bekas-bekas tikar itu. Umar (bin Khathab) pernah meneteskan airmata karena terharu melihat rumah Rasulullah hanya dilengkapi dengan ghariba (wadah air dari kulit) dan roti yang sudah menghitam. Ia memilih hidup sederhana, bukan karena ia mengharamkan yang halal, melainkan karena ingin merasa dekat dengan mereka yang paling miskin. Dia, sebagai pemimpin, tak ingin membuat jarak dengan mereka.”

Kedua, membiasakan diri menggunakan suara hati nurani dalam meresponsi masalah-masalah rakyat. Sebab yang harus dipatuhi bukan hanya hukum-hukum positif formal yang tertulis, tetapi juga “hukum-hukum” kebaikan yang berbasis pada kebenaran versi hati nurani.

C. Pembinaan Kreativitas Amal Saleh Sosial

Pembinaan yang terakhir ini identik dengan kerja nyata dalam berjuang membela rakyat yang dirugikan oleh sistem sosial budaya ekonomi yang dilaksanakan oleh negara. Misalnya, kemiskinan struktural yang mulai melebar memasuki kawasan pedesaan semestinya diprioritaskan untuk dibela dan dientaskan. Contoh, ketidakberdayaan para petani tembakau di Madura untuk menentukan harga jualnya tatkala berhadapan dengan kepentingan pabrik rokok, seharusnya mereka diadvokasi oleh para anggota DPRD, bukan dibiarkan mereka selalu diperlemah oleh pihak pabrik.Contoh yang lain, mengapa kreativitas aparat Pemda dan DPRD Sumenep dalam hal pemberdayaan zakat mal dan pembentukan BAZ tingkat kabupaten selalu sulit dilakukan dan disepakati oleh para elite pemimpin kawasan ini, termasuk sulit didukung penuh oleh para kyai ? Mengapa kalau BAZ di kabupaten Pamekasan bisa dan cukup sukses sehingga nilainya kini mendekati angka 1 miliyar ? Mengapa? Jawabannya tidak terlalu sulit ditemukan walau hanya masih bercorak hipotetif. Begitu kira-kira dan mohon ma’af ! Wallahu A’lam bi al-Shawab.

(*) Penulis adalah Pengamat Freelance. Makalah ini telah didiskusikan dalam Acara Madrasah Politik Ramadhan 1428 di Sekretariat DPD PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Kab.Sumenep pada Ahad Pon, 18 Ramadhan 1428 H / 30 September 2007 M.

Referensi :
1. Harry Roesli, Republik Funky: Asal Usul Harry Roesli (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2005), Cetakan ke-1.
2. Umaruddin Masdar, Dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik
(Yogyakarta: LKIS, 1999), Cetakan ke-1.
3. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cetakan ke-2.
4. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-3.
5. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan,
1995), Cetakan ke-7.